Segala puji bagi Allah I. Kita memuji-Nya, memohon ma’unah dan maghfirah-Nya,
bertaubat dan berlindung kepada-Nya, dari kejahatan diri dan keburukan
amal perbuatan kita.
Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka
tiada yang dapat menyesatkannya, dan barang
siapa yang disesatkan-Nya, maka tiada yang dapat memberi petunjuk kepadanya.
Aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Dan
aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya. Beliau diutus oleh Allah
I dengan membawa
petunjuk dan agama yang haq. Beliaupun telah menyampaikan risalah, melaksanakan
amanah, tulus dan kasih kepada umatnya, serta berjihad di jalan Allah dengan
sebenar-benarnya, sampai beliau pulang ke rahmat-Nya. Sedang umatnya beliau
tinggalkan pada jalan yang terang benderang, siapa yang menyimpang darinya
pasti binasa.
Rasulullah
r
telah menerangkan segala kebutuhan umatnya dalam berbagai aspek kehidupan
mereka, sebagaimana dikatakan oleh Abu Darda’ t,“ Tidak
ada yang diabaikan oleh Nabi r,
sampai burung yang mengepakkan sayapnya dilangit, melainkan beliau telah
mengajarkan kepada kita tentang ilmunya.”
Ada seorang musyrik bertanya kepada
Salman Al Farisi t,"apakah Nabi kalian
mengajarkan sampai tentang cara buang hajat ?, Salman menjawab,"ya, beliau
telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang hajat, dan melarang
membersihkan hajat dengan kurang dari tiga batu, atau dengan tangan kanan, atau
dengan kotoran kering, atau tulang.
ALLAH
TELAH MENJELASKAN TENTANG POKOK POKOK DAN CABANG CABANG AGAMA ISLAM DALAM AL- QUR’AN
Anda tentu tahu bahwa Allah I telah menjelaskan dalam Al-Qur’an tentang ushul (
pokok-pokok ) dan furu’ ( cabang-cabang ) agama Islam. Allah I telah
menjelaskan tentang tauhid dengan Segala
macam-macamnya, sampai tentang bergaul dengan sesama manusia, seperti etika
pertemuan, tata cara minta izin, dan lain sebagainya, sebagaimana firman Allah I :
“Hai orang orang yang beriman,
apabila dikatakan kepadamu : ‘berlapang lapanglah dalam majlis’, maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.” ( QS. Al Mujadilah: 11 ).
Dan
firman Nya:
“Hai orang orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu, sebelum kamu minta izin dan
memberi salam kepada penghuninya, yang demikian
itu lebih baik bagimu, agar kamu
selalu ingat. Jika kamu tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah
kamu masuk sebelum kamu mendapat izin, dan jika dikatakan kepadamu:
"kembalilah", maka hendaklah kamu kembali, itu lebih bersih bagimu,
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. An Nur: 27–28 ).
Dalam Al-Qur’an, Allah I telah menjelaskan
pula kepada kita tentang cara
berpakaian, dengan firmanNya:
“Dan
perempuan perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang
tiada ingin kawin (lagi) tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka
dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan”(QS. An Nur: 60 )
Allah
berfirman:
“Hai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak anak perempuanmu, dan istri-istri
orang mu’min “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”,
yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( QS. Al Ahzab: 59 ).
“Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan.” (QS. An Nur: 31).
“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah rumah dari belakangnya,
akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertakwa, dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya.” ( QS. Al Baqarah: 189 ).
Dan
masih banyak lagi ayat ayat seperti ini, yang dengan demikian jelaslah, bahwa
Islam itu sempurna, mencakup segala aspek kehidupan, tidak perlu ditambahi dan
tidak boleh dikurangi. Sebagaimana firman Allah I tentang Al-Quran:
“Dan Kami turunkan kepadamu kitab (
Al-Qur’an ) untuk menjelaskan segala sesuatu.” ( QS. An Nahl: 89 ).
Dengan
demikian, tidak ada sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia baik yang menyangkut
masalah kehidupan di akhirat maupun masalah kehidupan di dunia, kecuali telah
dijelaskan Allah I dalam Al-Qur’an secara tegas atau dengan isyarat, secara
tersurat maupun tersirat.
Adapun
firman Allah I :
“Dan tiadalah binatang binatang yang
ada di bumi dan burung burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan
umat umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al
kitab.” ( QS. Al An’am: 38 ).
Ada
yang menafsirkan “Al Kitab” di sini adalah Al-Qur’an, padahal sebenarnya yang
dimaksud adalah “Lauh Mahfudz”, karena apa yang dinyatakan Allah I tentang Al-Qur’an dalam firmanNya,“Dan kami turunkan
kepadamu kitab (Al-Qur’an ) untuk menjelaskan segala sesuatu” lebih tegas dan
lebih jelas dari pada yang dinyatakan dalam firmanNya,“Tidaklah Kami alpakan
sesuatupun di dalam Al Kitab.”
Mungkin
ada orang yang bertanya,"adakah ayat di dalam Al-Qur’an yang menjelaskan
jumlah shalat lima
waktu berikut bilangan rakaat tiap-tiap shalat ? bagaimana dengan firman Allah
yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan segala sesuatu,
padahal kita tidak menemukan ayat yang menjelaskan tentang bilangan rakaat tiap-tiap shalat’?
Jawabnya:
Allah I telah menjelaskan di dalam Al-Qur’an bahwasanya kita
diwajibkan mengambil dan mengikuti segala apa yang telah disabdakan dan
ditunjukkan oleh Rasulullah r,
hal ini berdasarkan atas firman Allah I :
“Barang siapa yang mentaati Rasul
itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling
(dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka .” (QS. An Nisa’: 80).
“Dan apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya
.” (QS. Al Hasyr: 7).
Maka
segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh sunnah Rasulullah r, sesungguhnya Al-Qur’an telah menunjukkan pula. Karena
sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkan dan
diajarkan oleh Allah I
kepada Rasulullah r, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan Allah telah menurunkan Al Kitab
( Al-Qur’an ) dan Al-Hikmah ( As Sunnah ) kepadamu.” (QS. An Nisa’: 113).
Dengan
demikian, apa yang disebutkan dalam sunnah, maka sebenarnya telah disebutkan
pula dalam Al-Qur’an.
RASULULLAH r TELAH MENJELASKAN SELURUH
AJARAN AGAMA ISLAM
Pembaca
yang budiman.
Apabila
saudara telah mengetahui dan meyakini akan hal hal di atas, maka apakah masih
ada sesuatu hal tentang ajaran Islam yang
dapat mendekatkan kepada Allah yang belum dijelaskan oleh Nabi r hingga beliau wafat ?
Tentu
tidak, Nabi r telah menerangkan segala sesuatu yang berkenaan dengan ajaran Islam, baik melalui perkataan, perbuatan
atau persetujuan beliau. Beliau telah menerangkannya langsung dari inisiatif
beliau atau sebagai jawaban atas pertanyaan. Kadang kala, dengan kehendak
Allah, ada seorang badui datang kepada beliau untuk bertanya tentang suatu
masalah dalam agama Islam, sementara para sahabat yang selalu menyertai
Rasulullah r tidak menanyakan hal tersebut, karena itu para sahabat
merasa senang apabila ada seorang badui datang untuk bertanya kepada Nabi.
Sebagai
bukti bahwa Nabi r telah menjelaskan segala apa yang diperlukan manusia
dalam ibadah, mu’amalah dan kehidupan mereka, yaitu firman Allah I:
“Pada hari ini, telah Kusempurnakan
untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Kuridhai
Islam itu jadi agamamu.” (QS. Al
Maidah: 3).
SETIAP
BID’AH ADALAH KESESATAN
Apabila
masalah-masalah tadi sudah jelas dan menjadi ketetapan saudara, maka ketahuilah, bahwa siapapun yang
berbuat suatu bid’ah dalam agama,
walaupun dengan tujuan yang baik, maka bid’ahnya itu selain merupakan kesesatan
adalah suatu tindakan menghujat agama, dan mendustakan firman Allah:
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu…”,
karena dengan perbuatannya tersebut dia seakan akan mengatakan bahwa ajaran
Islam itu belum sempurna, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat
mendekatkan diri kepada Allah I
belum terdapat di dalamnya.
Anehnya,
ada orang yang melakukan bid’ah berkenaan dengan Dzat, Asma’ dan sifat Allah U , kemudian ia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk
mengagungkan Allah, untuk mensucikan Allah, dan untuk mengikuti firman Allah:
“Maka
janganlah kamu mengadakan
sekutu sekutu bagi Allah, padahal
kamu mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 22).
Aneh,
bahwa ada orang yang melakukan bid’ah seperti ini dalam agama Allah, yang
berkenaan dengan Dzat-Nya, yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf,
mengatakan bahwa dialah yang mensucikan
Allah, dialah yang mengagungkan Allah, dan dialah yang mengikuti firman Allah:
“maka janganlah kamu mengadakan
sekutu sekutu bagi Allah.”, dan
barang siapa yang menyalahinya maka dia adalah mumatsil musyabbih ( orang yang
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya ), atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan
jelek lainnya.
Anehnya
lagi, ada orang-orang yang melakukan bid’ah dalam agama Allah yang berkenaan
dengan pribadi Rasulullah r,
yang dengan perbuatannya itu mereka menganggap bahwa dirinyalah orang yang
paling mencintai Rasulullah, dan yang mengagungkan beliau, barang siapa yang
tidak berbuat sama seperti mereka, maka dia adalah orang yang membenci
Rasulullah r, atau menuduhnya dengan sebutan- sebutan yang jelek
lainnya, yang biasa mereka pergunakan terhadap orang yang menolak bid’ah
mereka.
Aneh,
bahwa orang orang semacam ini mengatakan bahwa kamilah yang mengagungkan Allah
dan RasuNya. Padahal dengan bid’ah yang mereka perbuat itu, mereka sebenarnya
telah bertindak lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Sebab Allah I telah berfirman:
“Hai orang orang yang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya, dan bertakwalah kepada Allah;
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.” ( QS. Al Hujurat: 1 ).
Pembaca
yang budiman.
Di
sini penulis mau bertanya, dan mohon – demi Allah – agar jawaban yang anda
berikan berasal dari hati nurani, bukan secara emosional, jawaban yang sesuai
dengan tuntutan agama anda, bukan karena taklid (ikut-ikutan).
Apa pendapat anda tentang orang
orang yang melakukan bid’ah dalam agama Allah, baik yang berkenaan
dengan Dzat, asma’ dan sifat Allah, atau yang berkaitan dengan pribadi
Rasulullah r, kemudian mereka mengatakan bahwa kamilah yang
mengagungkan Allah dan Rasul-Nya ?
Apakah
mereka ini yang lebih berhak sebagai pengagung Allah dan Rasul-Nya, ataukah
orang orang yang tidak menyimpang seujung jaripun dari syariat Allah, yang
berkata, “Kami beriman kepada syariat Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad,
kami mempercayai apa yang diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap perintah
dan larangan, kami menolak apa yang tidak ada dalam syariat, tak patuk kami
berbuat lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya, atau mengatakan dalam agama Allah
apa yang tidak termasuk darinya.” ?
Siapakah
menurut anda yang lebih berhak untuk disebut sebagai orang yang mencintai serta
mengagungkan Allah dan Rasul-Nya ?
Jelas
golongan yang kedua, yaitu mereka yang berkata,“kami mengimani dan mempercayai
apa yang diberitakan kepada kami, patuh dan tunduk terhadap apa yang
diperintahkan; kami menolak apa yang tidak diperintahkan, dan tak patut kami
mengada adakan dalam syariat Allah, atau melakukan bid’ah dalam agama Allah.” tidak ragu lagi bahwa mereka inilah orang orang yang
tahu diri, dan tahu kedudukan Khaliknya, merekalah yang mengagungkan Allah dan
Rasul-Nya, dan merekalah yang menunjukkan kebenaran cinta mereka kepada Allah
dan Rasul-Nya.
Bukan
golongan pertama, yang melakukan bid’ah dalam agama Allah, dalam hal akidah,
ucapan atau perbuatan. Padahal anehnya, mereka mengerti akan sabda Rasulullah r :
(( إِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِيْ النَّارِ ))
“Jauhilah perkara-perkara baru,
karena setiap perkara baru itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu kesesatan, dan
setiap kesesatan itu masuk kedalam neraka.”
Sabda
beliau “setiap bid’ah” bersifat umum dan menyeluruh, dan mereka mengetahui hal
itu.
Rasulullah
r yang menyampaikan maklumat umum ini, tahu akan konotasi
apa yang disampaikannya. Beliau adalah manusia yang paling fasih, paling tulus
terhadap umatnya, tidak mengatakan kecuali apa yang difahami maknanya. Maka
ketika beliau bersabda:
(( وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ))
beliau menyadari apa yang diucapkan, mengerti
betul akan maknanya, dan ucapan ini timbul dari beliau karena beliau
benar-benar tulus terhadap umatnya.
Apabila
suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini, yaitu: diucapkan dengan penuh
ketulusan, penuh kefasihan dan dengan pemahaman yang
penuh, maka perkataan tersebut tidak mempunyai konotasi lain kecuali makna yang
dikandungnya.
Dengan
pernyataan umum tadi, benarkah bahwa bid’ah dapat kita bagi menjadi tiga
bagian, atau lima
bagian ?
Sama
sekali tidak benar.
Adapun
pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu ada bid’ah hasanah,
maka pendapat tersebut tidak lepas dari dua hal :
Pertama: kemungkinan tidak termasuk bid’ah, tapi dianggapnya
sebagai bid’ah.
Kedua: kemungkinan termasuk bid’ah, yang tentu saja sayyi’ah (
buruk ), tetapi dia tidak mengetahui keburukannya.
Jadi,
setiap perkara yang dianggapnya sebagai bid’ah hasanah, maka jawabannya adalah
demikian tadi.
Dengan
demikian, maka tidak ada jalan lagi bagi ahli bid’ah untuk menjadikan bid’ah
mereka sebagai bid’ah hasanah, karena kita telah mempunyai senjata ampuh dari
Rasulullah r, yaitu:
(( وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ))
“Setiap
bid’ah itu kesesatan”.
Senjata
ini bukan dibuat di sembarang pabrik, melainkan datang dari Nabi Muhammad, dan
dibuat sedemikian sempurna. Maka barang siapa yang memegang senjata ini, maka
tidak akan dapat dilawan oleh siapapun, dengan bid’ah yang dikatakannya sebagai
hasanah, sementara Rasulullah r
telah menyatakan bahwa : “setiap bid’ah itu kesesatan”.
BEBERAPA
PERTANYAAN DAN JAWABANNYA
Mungkin
ada diantara pembaca yang bertanya: bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan
Umar bin Khaththab t setelah memerintahkan
kepada Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang orang di
bulan Ramadhan. Ketika keluar ia mendapatkan para jama’ah sedang berkumpul
dengan imam mereka, kemudia ia berkata,“Inilah sebaik baik bid’ah, sungguh
qiyamullail di akhir malam lebih afdhal daripada di awal malam”.
Jawab:
Pertama: bahwa tak seorangpun diantara kita yang boleh menentang
sabda Nabi r, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali
atau dengan perkataan siapa saja selain mereka, karena Allah I berfirman:
“Maka hendaklah orang orang yang
menyalahi perintahnya ( Rasul ) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab
yang pedih.” (QS. An Nur: 63).
Imam
Ahmad bin Hanbal berkata, “Tahukah kamu, apakah yang dimaksud dengan fitnah ?
fitnah yaitu syirik. Boleh jadi apabila seseorang menolak sebagian sabda Nabi r akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya ia
akan jadi binasa.”
Ibnu
Abbas r berkata,“Hampir saja kalian dilempar batu dari atas
langit, kukatakan : Rasulullah bersabda, tapi kalian mengatakan
Abu Bakar dan Umar berkata.”
Kedua: kita yakin kalau Umar t termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah I dan sabda Rasul-Nya. Beliaupun terkenal sebagai orang
yang berpijak pada ketentuan Allah I, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai
orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan yang
berani menyanggah ketetapan beliau tentang pembatasan mahar ( maskawin ) dengan
firman Allah I:
"Dan jika kamu ingin mengganti
istrimu dengan yang lain, Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang
diantara mereka harta yang banyak
…”(QS.An Nisa`:20).
bukan
rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan Mahar.
Sekalipun
kisah ini perlu diteliti lagi tentang kesahihannya, tetapi maksudnya dapat
menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak pada
ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya.
Oleh
karena itu, tidak pantas bila Umar t menentang sabda Nabi r, dan berkata tentang suatu bid’ah : “Inilah sebaik baik
bid’ah”, padahal bid’ah tersebut termasuk dalam katagori sabda Rasulullah r : “setiap bid’ah adalah kesesatan.”
Akan
tetapi bid’ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid’ah yang
tidak termasuk dalam sabda Rasulullah tersebut, maksudnya adalah mengumpulkan
orang orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan
satu imam, dimana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri.
Sedangkan
shalat sunat itu sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah t, sebagaimana yang dinyatakan oleh Aisyah Radhiyallahu
`anha : “bahwa Nabi r pernah melakukan qiyamullail (bersama para sahabat) tiga
malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannya pada malam keempat dan
bersabda:
((
إِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا ))
“Sesungguhnya aku takut kalau shalat
tersebut diwajibkan atas kamu, sedangkan kamu tidak mampu untuk
melaksanakannya.” ( HR. Bukhari dan Muslim ).
Jadi
qiyamullail ( shalat malam ) di bulan Ramadhan dengan berjamaah termasuk sunnah
Rasulullah r.
Namun
disebut bid’ah oleh Umar t dengan pertimbangan bahwa Nabi r setelah menghentikannya pada malam keempat, ada diantara
orang yang melakukannya sendiri sendiri. Ada
yang melakukannya dengan berjamaah dengan beberapa orang saja, dan ada pula
yang berjamaah dengan orang banyak, akhirnya Amirul Mu’minin Umar t dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan
satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid’ah, bila dibandingkan
dengan apa yang dilakukan oleh orang orang sebelum itu. tetapi sebenarnya bukanlah bid’ah, karena pernah dilakukan oleh
Rasulullah r.
Dengan
penjelasan ini, tidak ada alasan apapun bagi ahli bid’ah untuk menyatakan
perbuatan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah.
Mungkin
juga diantara pembaca ada yang bertanya : ada hal hal yang tidak pernah
dilakukan pada masa Nabi r, tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam,
seperti: adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya, hal hal baru seperti
ini dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dianggap
sebagai amal kebaikan, lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi
kesepakatan kaum muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi r : “setiap bid’ah adalah kesesatan ?”
Jawab: kita katakan bahwa hal hal seperti ini sebenarnya bukan
bid’ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana
itu berbeda beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah : “Sarana dihukumi
menurut tujuannya.” Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya
diperintahkan; sarana untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya juga
tidak diperintahkan; sedang sarana untuk
perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan jika
dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk
dan jahat.
Firman
Allah I:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan
sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’am: 108).
Padahal
menjelek-jelekkan sembahan orang-orang musyrik itu dibenarkan dan termasuk pada
tempatnya, sebaliknya menjelek-jelekkan Allah Rabbul ‘Alamin itu perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun,
karena perbuatan itu menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan
tersebut dilarang.
Ayat
ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana
itu dihukumi menurut tujuannya.
Adanya
sekolah-sekolah, ilmu pengetahuan, dan penyusunan kitab dan lain sebagainya, walaupun termasuk hal yang baru dan belum pernah dilakukan
pada zaman Nabi r, tapi itu semua bukan tujuan, melainkan hanya sebagai sarana,
sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya.
Jadi seandainya ada seseorang membangun gedung sekolah dengan
tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya
adalah haram. Sebaliknya, apabila tujuannya untuk pengajaran ilmu syar`i maka
pembangunan itu diperintahkan.
Jika
ada yang bertanya, "bagaimana jawaban anda tentang sabda Nabi r :
((
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِِ ))
“Barang siapa yang memulai memberi
contoh kebaikan dalam Islam, maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala
orang-orang yang mengikuti ( meniru ) perbuatannya itu hingga hari kiamat.”
Kata (( سَنَّ)) di sini
berarti: membuat atau mengadakan.
Jawab: Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah
orang yang menyatakan bahwa “setiap bid’ah adalah kesesatan”, yaitu Rasulullah r, dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur
dan terpercaya ada yang bertentangan antara satu sama yang lainnya, sebagaimana
firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang
beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali, karena anggapan
tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau kurang teliti.
Dan sama sekali tidak ada pertentangan dalam firman Allah atau sabda Rasulullah
r.
Dengan
demikian, tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi
menyatakan:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ
yang
artinya : “Barang siapa yang berbuat dalam Islam”, sedangkan bid’ah
tidak termasuk dalam Islam. Kemudian menyatakan:
سُنَّةً حَسَنَةً
yang berarti : “Sunnah yang baik”, sedangkan
bid’ah tidak ada yang baik. Tentu berbeda sekali antara makna kata (( سَنَّ))
dan kata (( بدَّع )) bid’ah.
Jawaban
lain: bahwa kata: ((مَنْ
سَنَّ )) bisa diartikan pula
dengan: “Barang siapa yang menghidupkan suatu sunnah” yang telah ditinggalkan
dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata (( سَنَّ)) tidak berarti membuat sesuatu yang baru dari
dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah
ditinggalkan.
Ada juga jawaban lain yang diambil
dari sebab diucapkannya hadits di atas, yaitu kisah orang-orang yang
datang kepada Nabi r, dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka
beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian harta mereka.
Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sepundi uang perak yang
kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkan di hadapan Rasulullah r, seketika itu berseri-serilah wajah beliau seraya
bersabda :
((
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِِ ))
“Barang siapa yang memulai memberi contoh
kebaikan dalam Islam, maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala
orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu hingga hari kiamat.”
Dari
sini, dapat dipahami bahwa arti (( سَنَّ)) ialah :
melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu tradisi.
Jadi arti dari sabda beliau :
((مَنْ
سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً))
yaitu : “Barang siapa yang melaksanakan sunnah yang baik”, bukan membuat
atau mengadakannya. Karena yang demikian ini dilarang, berdasarkan sabda beliau
:
وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap
bid’ah itu kesesatan”
SYARAT
YANG HARUS DIPENUHI DALAM IBADAH
Perlu
diketahui bahwa mutaba’ah ( mengikuti Nabi Muhammad r) tidak akan
tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakannya sesuai dengan syariat, dalam
enam perkara :
Pertama : sebab
Jika
seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak
disyariatkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah, dan tidak akan diterima (
ditolak ).
Contoh:
ada orang yang melakukan shalat tahajjud pada malam dua puluh tujuh bulan
rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj Rasulullah r ( dinaikkan ke atas langit ).
Shalat
tahajjud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut maka
menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan
oleh syariat. Syariat ini – yaitu: ibadah harus sesuai dengan sebab yang syar’i – adalah penting, karena dengan
demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap sunnah, namun
sebenarnya adalah bid’ah.
Kedua: jenis.
Yaitu:
ibadah itu harus sesuai dengan jenis yang telah disyariatkan. Jika tidak, maka ibadah itu tidak akan diterima.
Contoh: seseorang yang menyembelih kuda untuk kurban. Maka
kurbannya tidak sah, karena hewan yang boleh dijadikan kurban hanyalah unta,
sapi dan kambing. Dan ia menyalahi ketentuan syariat dalam jenisnya.
Ketiga : kadar ( bilangan ).
Kalau ada seseorang yang menambah bilangan raka’at pada shalat
tertentu, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah
bid’ah dan tidak diterima, karena tidak
sesuai dengan ketentuan syariat dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila
ada orang yang shalat dzuhur lima
rakaat umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
Keempat : kaifiyah ( cara ).
Seandainya
ada orang yang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah
wudhunya, karena tidak sesuai dengan cara yang telah
ditentukan oleh syariat.
Kelima : waktu.
Apabila
ada orang yang menyembelih hewan kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah,
maka kurbannya tidak sah, karena waktu
melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
Saya
pernah mendengar bahwa ada orang yang bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada
Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal ini adalah bid’ah, karena tidak ada
sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah
kecuali untuk kurban, hadyu haji dan aqiqah. Adapun menyembelih (binatang) pada
bulan Ramadhan dengan keyakinan mendapatkan pahala atas sembelihannya,
sebagaimana dalam Idul Adha, maka termasuk bid’ah.
Tapi kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya maka boleh-boleh saja.
Keenam : tempat.
Andaikata
ada orang yang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah I’tikafnya.
Sebab tempat I’tikaf itu hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang
wanita hendak beri’tikaf di dalam mushalla rumahnya, maka tidak sah I’tikafnya.
Karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syariat.
Contoh
lain: seseorang yang melakukan thawaf di luar masjid Al Haram dengan alasan
karena di dalam masjid sudah penuh, maka
thawafnya tidak sah. Karena tempat melakukan thawaf adalah baitullah,
sebagaimana firman Allah I kepada Ibrahim al khalil:
“Dan sucikanlah rumah –Ku ini bagi
orang orang yang thawaf.” ( QS.
Al Haj: 26 ).
Kesimpulan
dari penjelasan di atas, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh,
kecuali apabila memenuhi dua syarat, yaitu :
Pertama: ikhlas.
Kedua: Mutaba’ah (mengikuti tuntunan Rasul).
Dan mutaba’ah tidak akan tercapai, kecuali
dengan enam perkara yang telah diuraikan di atas.
PENUTUP
Penulis
berpesan kepada mereka yang terjerat dalam bid’ah, yang kemungkinan mempunyai
tujuan baik, dan menghendaki kebaikan, apabila anda memang menghendaki
kebaikan, maka - demi Allah – tidak ada
jalan yang lebih baik dari pada jalan para salaf ( generasi pendahulu ) y.
Pegang
teguhlah sunnah Rasul r, ikutilah jejak para salaf shaleh, dan perhatikanlah apakah
hal itu akan merugikan anda?
Dan
kami katakan dengan sesungguhnya, bahwa anda akan mendapatkan kebanyakan orang
yang suka mengerjakan bid’ah merasa enggan dan malas untuk mengerjakan hal hal
yang sudah jelas diperintahkan dan disunnahkan. Jika mereka selesai melakukan
bid’ah, tentu mereka menghadapi sunnah yang telah ditetapkan dengan rasa enggan
dan malas. Itu semua merupakan dampak dari bid’ah terhadap hati.
Bid’ah
besar dampaknya terhadap hati, dan amat berbahaya bagi agama. Tidak ada suatu
kaum melakukan bid’ah dalam agama Allah, melainkan mereka telah menghilangkan
dari sunnah yang setara dengannya, atau melebihinya. Hal
ini sebagaimana yang telah dinyatakan oleh seorang ulama salaf.
Akan
tetapi, apabila seseorang merasa bahwa dirinya adalah pengikut dan bukan
pembuat syariat, maka akan tercapai olehnya kesempurnaan rasa takut, tunduk,
patuh dan ibadah kepada Allah Rabbul Alamin, serta kesempurnaan ittiba’ ( ikut
) kepada Imamul Muttaqin Sayyidil Mursalin, Rasulullah Muhammad r.
Penulis
berpesan kepada saudara-saudara kaum muslimin yang menganggap baik sebagian
bid’ah, baik yang berkenaan dengan pribadi atau cara
mengagungkan Rasulullah r, hendaklah mereka takut kepada Allah, dan
menghindari hal hal semacam itu. Beramallah dengan didasari ikhlas dan sunnah,
bukan syirik dan bid’ah, menurut apa yang diridhai Allah, bukan apa yang
disenangi syaitan. Dan hendaklah mereka memperhatikan apakah yang dapat dicapai
oleh hati mereka, berupa: keselamatan, kehidupan, ketenangan, kebahagiaan dan
cahaya Allah Yang Maha Agung.
Semoga Allah menjadikan kita sebagai penunjuk jalan yang mendapat
petunjuk –Nya, dan pemimpin yang membawa kebaikan, menerangi hati kita dengan
iman dan ilmu, menjadikan ilmu yang kita miliki membawa berkah dan bukan
bencana. Serta semoga Allah membimbing kita kepada jalan para hamba-Nya yang
beriman, menjadikan kita termasuk para kekasihNya yang bertakwa dan golonganNya
yang beruntung.
Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita
Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar