Kamis, 06 Agustus 2015

Hadits Sebagai Sumber Hukum



Hadits Sebagai Sumber Hukum

A. DALIL-DALIL YANG MENETAPKANNYA

1. Menurut Akal
Yaitu mempercayai Al-Hadits berdasarkan ucapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang tidak lain merupakan wahyu dari Allah Ta’ala dimana terkadang isi dan redaksinya benar-benar asli dari Allah Ta’ala atau terkadang merupakan hasil ijtihad beliau semata. Maka sudah selayaknya kita sebagai muslim yang mengakui Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai utusan Allah menaati segala perkataannya dan menganggapnya sebagai sumber hukum positif.

2. Menurut Petunjuk Nash Al-Qur’an
Berdasarkan Firman Allah Ta’ala:
“Apa-apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr:7)
“Dan kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.” (QS. An-Nisaa:64)
3. Ijma para sahabat
Para sahabat sepakat untuk menetapkan wajibu’l-ittiba’ terhadap Al-Hadits, baik pada saat Rasulullah masih hidup atau sepeninggalnya.Mereka bila tidak menjumpai ketentuan dalam Al-Qur’an tentang suatu perkara maka mereka mencari ketentuannya dalam Al-Hadits atau menanyakan langsung pada seseorang yang masih mengungatnya.

B. GOLONGAN YANG MENOLAK KEHUJJAHAN AL-HADITS
Alasan penolakan Al-Hadits sebagai sumber syariat setelah Al-Qur’an dari sebagian kecil umat islam (Golongan Khawarij dan Mu’tazilah), adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah Ta’ala :
“Dan kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu sebagai penjelas segala sesuatu.(QS. AN-Nahl:89)”
2. Seandainya Al-Hadits dijadikan sebagai hujjah, maka seharusnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan para sahabat untuk membukukannya untuk memelihara agar tidak tercecer dan tidak dilupakan orang, untuk menutup kemungkinan adanya kesalahan penulisan dari perawinya.
Alasan-alasan tersebut kurang kuat karena:
1. Al-Qur’an memuat dasar-dasar agama dan kaidah-kaidahumum dan sebagian nashnya telah diterangkan dengan jelas dan sebagian lain diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Oleh karenanya penjelasan Rasulullah tentang hokum-hukum itu adalah penjelasan Al-Qur’an juga. Firman Allah Ta’ala :
“Dan kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan mudah-mudahan mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl:44)
2. Tiada perintah untuk membukukan AL-Hadits pada saat Rasulullah masih hidup adalah karena lebih dipentingkannya membukukan Al-Qur’an agar tidak hilang dan tidak bercampur baur dengan hadits. Sedangkan untuk penulisan Al-Hadits telah dipilih para sahabat yang adil dan terpercaya dan yang terkenal kuat hafalannya.

C. PERBENDAHARAAN AL-HADITS TERHADAP AL-QUR’AN
Perbendaharaan Al-Hadits terhadap AL-Qur’an berfungsi sebagai berikut:
1. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya firman Allah tentang haramnya bersaksi palsu:
“Dan jauhilah perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30)
kemudian hadits Nabi menguatkannya:
“Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut kami: “Baiklah, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “pertama musyrik kepada Allah dan yang kedua menyakitikedua orangtua.” Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda, “Awas! Berkata (bersaksi) palsu…” (HR. Bukhari Muslim)
2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mutlak dan memberikan takhshish (penentuan khusus) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya perintah mengerjakan shalat, membayar zakat dan ibadah haji. AL-Qur’an tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, nisab-nisab zakat, juga cara melakukan ibadah haji; tetapi semuanya itu telah ditafshil (diperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits)
3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini hukum atau aturan itu hanya berdasarkan Al-Hadits semata. Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya,
“Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan amah (saudari bapaknya) dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibunya).” (HR. Bukhari Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar