DAKWAH SALAFIYAH
Publication : Rajab 1432 H/ Juni 2011
Al-Albani
dan Dakwah Salafiyyah
© Copyright bagi ummat Islam.
Sumber: Biografi Syaikh Al-Albani, Pustaka Imam Asy-Syafi’i
Sebuah pertanyaan tentang dakwah Salafiyyah yang dijawab oleh Syaikh al-Albani
Soal:
Mengapa
dinamakan Salafiyyah? Apakah Salafiyyah merupakan dakwah Hizbiyyah, ataukah
sebuah dakwah yang mengajak kepada kelompok atau madzhab tertentu? Apakah
Salafiyyah sebagai kelompok jamaah atau firqah baru dalam Islam?
Jawab:
Kata 'Salaf adalah sebuah kata yang
telah dikenal dalam bahasa Arab dan bahasa syari'at ini.
Adapun
pembahasan kita yang terpenting di sini adalah Salaf dari segi syar'i (menurut
istilah agama).
Telah
shahih dari Nabi صلي الله عليه وسلم bahwa beliau
bersabda kepada Sayyidah Fatimah di saat beliau sakit (ketika beliau) akan
meninggal:
فَاتَّقِي اللهَ
وَاصْبِرِي وَنِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
"Bertakwalah
engkau kepada Allah dan bersabarlah, sebaik-baik orang yang mendahuluimu adalah
aku." (HR. Muslim.
2450)
Para
ulama banyak menggunakan kata 'Salaf sehingga terlalu banyak untuk dihitung.
Cukup kami berikan sebuah contoh yang
merupakan hujjah bagi
mereka dalam memerangi bid’ah-bid’ah:
وَكُلُّ خَيْرِ
فِي اتِّبَاعِ مَنْ سَلَفَ، وَكُلُّ شَرِّ فِي ابْتِدَاعِ مَنْ خَلَفَ
"Segala kebaikan tertumpu dalam
mengikuti jejak Salaf, dan segala kejelekan tertumpu pada bid'ah para
khalaf"
Namun
demikian, ada sebagian orang yang mengaku berilmu mengingkari penisbatan kepada
Salaf ini dengan beranggapan bahwa penisbatan tersebut tidak memiliki dasar. Ia
berkata: "Tidak boleh seorang muslim mengatakan: 'Saya adalah seorang
Salafi.' Seolah-olah dia berkata: 'Tidak boleh seorang muslim berkata: 'Saya
seorang pengikut Salafush Shalih dalam 'aqidah, ibadah dan akhlaq.
Seandainya
ini yang dimaksud, maka tidak diragukan lagi-bahwa pengingkaran tersebut
mengharuskan seseorang berlepas diri dari Islam yang sebenarnya, yang menjadi
pijakan para Salafush Shalih yang berada di bawah kepemimpinan Rasulullah صلي الله عليه وسلم, sebagaimana yang diisyaratkan oleh sebuah hadits mutawatir
dalam kitab Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan lainnya, Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baik
manusia adalah generasiku (para Sahabat), kemudian generasi yang datang sesudah
mereka (generasi Tabi'in), kemudian yang datang sesudah mereka (para pengikut Tabi'in)."
Maka
tidak dibolehkan bagi seorang muslim berlepas diri dari penisbatan kepada
Salafush Shalih. Adapun jika ia berlepas diri dari penisbatan kepada selain
Salaf, tidak mungkin bagi seorang ulama untuk menisbatkannya kepada kekufuran
atau kefasikan.
Apakah
orang yang mengingkari penisbatan kepada salaf dikira bahwa dia tidak bernisbat
kepada salah satu diantara aliran yang ada, baik aliran yang berhubungan dengan
aqidah atau fiqih? Dia sendiri adalah orang yang bermadzhah Hanafi,
As-Syafi’I,
Maliki atau Hanbali
yang termasuk kategori Aldus Sunnah wal
Jama'ah. Padahal, orang yang menisbatkan dirinya kepada aliran 'aqidah Asy'ari
atau pada madzhab yang empat, tidak diragukan lagi bahwa ia telah menisbatkan
dirinya kepada orang-orang yang tidak ma'shum (tidak terpelihara dari kesalahan
dan kekeliruan) meskipun di antara mereka ada para ulama yang benar.
Nah
mengapa penisbatan kepada manusia-manusia yang tidak ma'shum, tidak diingkari?.
Orang
yang menisbatkan dirinya kepada Salafush Shalih berarti dia -secara umum- telah
menisbatkan dirinya kepada sesuatu yang terpelihara, Nabi صلي الله عليه وسلم telah menyebutkan salah satu di antara tanda-tanda Firqatun
Najiyah (golongan yang selamat) adalah berpegang teguh pada ajaran Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan para sahabatnya.
Maka
barangsiapa yang berpegang teguh pada (tuntunan) Salafush Shalih, tidak
diragukan lagi bahwa ia berada di atas petunjuk Rabbnya. Penisbatan diri kepada
salah seorang mulia dan memudahkannya (untuk menempuh) jalan yang selamat. Yang
demikian itu tidak dimiliki oleh mereka yang menisbatkan dirinya kepada selain Salaf. Karena penisbatan kepada selain
Salaf tidak terlepas dari dua hal:
1. Penisbatan
kepada seorang yang tidak ma'shum (tidak terlepas dari kesalahan dan
kekeliruan).
2. Penisbatan
kepada pengikut yang tidak ma'shum tersebut, dengan demikian berarti mereka
tidak ma'shum pula.
Sebaliknya
para Sahabat Nabi صلي الله عليه وسلم sebagai sebuah
komunitas, mereka adalah ma'shum (terpelihara dari kesalahan dan kekeliruan).
Dan Rasulullah صلي الله عليه وسلم yang memerintahkan kita antuk berpegang teguh kepada Sunnah
para Sahabatnya setelah beliau.
Kami
akan terus dan senantiasa terus berupaya agar pemahaman kami pada al-Qur'an dan
Sunnah صلي الله عليه وسلم sesuai dengan manhaj
(pemahaman) Sahabat nya, agar kami pun terpelihara dari penyimpangan ke kiri
alau ke kanan dan dari penyimpangan dengan pemahaman kami sendiri yang khusus,
tanpa berdalih pada Kitab Allah عزّوجلّ dan Sunnah صلي الله عليه وسلم.
Kemudian,
ada sebuah pertanyaan: "Mengapa tidak cukup bagi kami dengan berintisab
hanya kepada al-Qur'an dan as-Sunnah saja?" Sebabnya kembali pada dua hal:
1. Keterkaitan
dengan nash-nash al-Qur'an dan al-Hadits.
2. Realita
yang ada pada kelompok-kelompok Islam.
Sebab
pertama, bahwasanya kami jumpai dalam ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah
صلي الله عليه وسلم sebuah
perintah untuk laat kepada 'sesuatu yang lain' disamping perintah untuk taat
kepada al-Kitab dan as-Sunnah, sebagaimana dalam firman Allah سبحانه و تعاليّ:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ
مِنكُمْ
"Hai
orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu." (QS.
An-Nisaa': 59)
Dengan
demikian, seandainya ada seorang penguasa yang dibai'at (dinobatkan) oleh kaum
Muslimin, maka kita wajib mentaatinya sebagaimana kewajiban mentaati al-Qur'an
dan as-Sunnah, padahal bisa saja penguasa tersebut dan yang berada di
sekelilingnya melakukan suatu kesalahan, namun wajib ditaati sebagai upaya
menolak terjadinya kerusakan yang ditimbulkan akibat perselisihan pendapat.
Kewajiban taat tersebut harus dengan syarat yang sudah diketahui, yaitu:
لَا طَاعَةَ
لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْـخَالِقِ
Allah سبحانه و تعاليّ: berfirman:
وَمَن يُشَاقِقِ
الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيراً
"dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin, niscaya Kami akan biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembalinya."
(QS. An-Nisaa': 115)
Sesungguhnya
Allah سبحانه و تعاليّ Mahasuci dari
perbuatan yang sia-sia. Maka tidak diragukan lagi bahwa penyebutan 'sabiilul
mukminin', jalan orang-orang yang beriman (pada ayat di atas,Pent),
tentunya untuk suatu hikmah dan manfaat yang sangat besar artinya. Disebutnya 'sabiilul
mukminin' untuk menunjukkan (kepada kita) bahwa ada suatu kewajiban yang
sangat penting, yaitu dalam mengikuti Kitab Allah عزّوجلّ dan Sunnah Rasul-Nya صلي الله عليه وسلم harus sesuai dengan apa yang difahami oleh kaum Muslimin yang
pertama masuk Islam, mereka itu adalah para Sahabat kemudian yang datang sesudah mereka (para
Tabi'in) dan yang datang sesudah mereka (Tabi'ut Tabi'in).
Inilah
yang selalu diseru oleh dakwah Salafiyyah dan dijadikan fokus perhatiannya
dalam dakwah dan manhaj tarbiyyahnya.
Sesungguhnya
dakwah Salafiyyah benar-benar pemersatu ummat, sedang dakwah-dakwah yang
lainnya memecah belah ummat. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَكُونُواْ مَعَ
الصَّادِقِينَ
"Jadilah
kamu bersama orang-orang yang benar." (QS. At-Taubah: 119)
Sedangkan orang
yang membedakan antara al-Qur'an dan as-Sunnah
di satu sisi dan Salafush Shalih pada sisi yang lain, bukanlah ia seorang yang
benar/jujur sama sekali.
Sebab
kedua (realita yang ada pada kelompok-kelompok Islam, Pent),
bahwasanya kelompok-kelompok Islam yang ada sekarang ini, tidak menoleh sama
sekali untuk mengikuti 'sabiilul mukminin' (jalan orang-orang yang
beriman) yang tersebut pada ayat di atas. Padahal mengikuti jalan orang-orang
tersebut, dikokohkan oleh sebagian hadits-hadits Rasulullah صلي الله عليه وسلم, seperti hadits tentang tujuh puluh tiga golongan yang semuanya
berada di Neraka, kecuali satu golongan yang selamat, dan beliau صلي الله عليه وسلم menggambarkan golongan tersebut adalah:
هِيَ الَّتِي
عَلَي مِسْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ
“Mereka
yang pijakannya sama dengan apa yang menjadi pijakanku dan pijakan para
Sahabatku pada hari ini."[2]
Hadits
ini serupa dengan ayat di atas yang menyebut sabiilul mukminin. Demikian
pula hadits 'Irbadh bin Sariyah yang di dalamnya berbunyi:
فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي
"Maka
hendaklah kalian memegang teguh Sunnahku dan Sunnah para Khalifah sesudahku
yang berada di atas petunjuk lagi pula diberi petunjuk sepeninggalku."
Dalam
hadits ini terdapat dua Sunnah, Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan Sunnah para Khalifah pengganti Rasul yang berada diatas
petunjuk.
Sedangkan kita, orang-orang yang datang
kemudian- harus merujuk/ kembali kepada Kitab Allah عزّوجلّ, Sunnah صلي الله عليه وسلم. dan jalannya orang-orang yang beriman (para Sahabat, pent).
Dan tidak boleh berkata bahwasanya kita bebas leluasa dalam memahami al-Qur’an
dan as-Sunnah tanpa mengacu kepada apa yang menjadi pijakan para Salaf
pendahulu kita yang shalih.
Di
zaman ini, harus ada penisbatan yang dapat membedakan secara cermat, maka tidak
cukup kita berkata: "Saya seorang muslim atau aliranku Islam," karena setiap
golongan berkata demikian. Seorang Rafidhah, seorang Khawarij Ibadhiyyah,
seorang yang beragama Ahmadiyyah Qadyaniyyah dan lainnya (semuanya berkata:
"Saya seorang muslim, pent). Lalu apakah yang membedakan-mu
dengan mereka?.
Jika
kamu berkata: "Saya seorang muslim yang berdasarkan al -Quran dan
as-Sunnah". tidaklah mencukupi. Sebab kelompok-kelompok seperti
Asy-'ariyyah, Maturidiyyah dan Hizbiyyun, juga mengaku bahwa mereka mengikuti
kedua pedoman tersebut."
Dengan
demikian tidak diragukan lagi bahwa penyebutan yang jelas, terang dan dapat
membedakan adalah dengan mengatakan: "Saya seorang muslim yang berasaskan
al-Qur'an dan as-Sunnah yang berada di atas manhaj (jalan) Salafush
Shalih." Singkatnya anda berkata: "Saya adalah seorang Salafi."
Atas
dasar itu semuanya merupakan suatu kebenaran yang tiada tempat pelarian
darinya, bahwa tidaklah mencukupi hanya dengan bersandar kepada al-Qur'an dan
as-Sunnah tanpa disertai metode Salaf yang menjelaskan keduanya dalam
pemahaman, gambaran dalam ilmu dan amal serta dalam dakwah dan jihad.
Sementara
itu, kita pun mengetahui bahwa para Sahabat رضي الله عنهم tidak fanatik
pada suatu madzhab/aliran atau orang tertentu. Oleh sebab itu tidak ada di
antara mereka seorang 'Bakri' (yang menisbatkan dirinya kepada Abu Bakar
رضي الله عنه. Pent) atau ‘Umari’ atau 'Ustmani’
atau ‘Alawi’. Bahkan di antara mereka, siapa saja yang mendapat
kemudahan untuk bertanya kepada Abu Bakar رضي الله عنه atau kepada
'Umar رضي الله عنه atau kepada Abu Hurairah رضي الله عنه, ia langsung
bertanya kepadanya. Hal itu karena mereka percaya bahwasanya tidak boleh
mengikuti secara murni dan ikhlas, kecuali hanya kepada seorang saja,
yaitu Rasulullah صلي الله عليه وسلم yang tidak mengucapkan sesuatu menurut kemauan hawa nafsunya,
ucapannya itu tidak lain kecuali wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
"Walaupun
kita menerima kritikan para pengritik, lalu kita pun menamakan diri kita
sebagai seorang muslim saja tanpa bernisbat kepada Salafiyyah, padahal
Salafiyyah adalah penisbatan yang mulia dan benar, apakah mereka akan berlepas
diri pula dari penamaan atau penisbatan diri mereka kepada kelompok, aliran
atau thariqat mereka, yang mana semua itu tidak syar'i dan tidak benar?"
Cukuplah perbedaan-perbedaan ini antara kami dan kalian, karena setiap bejana
pasti memercikkan apa yang ada di dalamnya.
Hanya
Allah سبحانه و تعاليّ pemberi petunjuk kepada jalan yang
lurus dan kepada-Nya-lah kami mohon pertolongan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar