Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Nabi
- 27 June 2009, 12:28 pm
- Hak-Hak Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Maulid Nabi
Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun
penetapan beliau, memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena
Allah Ta’ala menjadikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai penjelas dan penjabar dari Al Qur’an yang mulia, yang merupakan sumber
utama syariat Islam. Oleh karena itu, tanpa memahami sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan baik, seseorang tidak mungkin dapat menjalankan
agama Islam dengan benar.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu
al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka (dari Allah Ta’ala), supaya mereka memikirkan.” (Qs. An Nahl: 44)
Ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al Qur’an.” (HSR Muslim no. 746). Ini
berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang
paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan
hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya. (Lihat keterangan imam
an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim 6/26). Maka orang yang paling
sempurna dalam memahami dan mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dialah yang paling sempurna dalam berpegang teguh dan
mengamalkan Al Qur’an dan agama Islam secara keseluruhan.
Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah
Ta’ala merahmatinya– berkata, “(Termasuk) landasan (utama) sunnah (syariat
Islam) menurut (pandangan) kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah: bahwa sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penafsir dan argumentasi
(yang menjelaskan makna) al-Qur’an.” (Ushuulus Sunnah, hal. 3)
Oleh karena itulah, para ulama
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendefinisikan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang mencakup syariat Islam secara
keseluruhan, baik ucapan, perbuatan maupun keyakinan. (Lihat Jaami’ul Uluumi
wal Hikam, hal. 321)
Imam Abu Muhammad al-Barbahari
berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu dialah
Islam, yang masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang
lainnya.” (Syarhus Sunnah, hal. 59)
Arti Mencintai dan Mengagungkan
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Sebenarnya
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu
dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran: 31)
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan
ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi
setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti
jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah
orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau
mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 1/477)
Imam Al Qadhi ‘Iyadh Al Yahshubi
berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan
mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti
dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti
nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut
pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya,
melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri
dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun
senang dan lapang maupun sempit.” (Asy Syifa bi Ta’riifi Huquuqil Mushthafa,
2/24)
Berdasarkan keterangan di atas,
jelaslah bahwa mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan
sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha mempelajari
dan mengamalkannya dengan baik. Dan bukanlah mencintai dan mengagungkan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melakukan
perbuatan-perbuatan bid’ah (yaitu setiap perbuatan yang diada-adakan dengan
tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen) dengan mengatasnamakan
cinta kepada beliau, atau memuji dan mensifati beliau secara berlebihan,
dengan menempatkan beliau melebihi kedudukan yang telah Allah Ta’ala tempatkan
beliau padanya. (Mahabbatur Rasul bainal Ittibaa’ wal Ibtidaa’,
hal. 65-71)
Dalam sebuah hadits shahih
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian
memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang Nashrani
melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku
hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.”
(HSR Al Bukhari no. 3261)
Inilah makna cinta kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dan diamalkan oleh generasi
terbaik umat ini, para sahabat
radhiyallahu ‘anhum.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Tidak ada seorang pun yang paling dicintai oleh para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Akan tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mereka tidak berdiri (untuk menghormati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam),
karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membenci perbuatan tersebut.” (HR At Tirmidzi 5/90 dan Ahmad 3/132,
dinyatakan shahih oleh At Tirmidzi dan Syaikh Al Albani)
Bagaimana Menyempurnakan Cinta
kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam Diri Kita?
Imam Ibnu Rajab Al Hambali membagi
derajat (tingakatan) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dua
tingakatan, yang berarti dengan menyempurnakan dua tingkatan ini seorang akan
memiliki kecintaan yang sempurna kepada sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang ini merupakan tanda kesempurnaan iman dalam
dirinya.
Dua tingkatan tersebut adalah:
- Tingkatan yang fardhu (wajib), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung konsekuensi menerima dan mengambil semua petunjuk yang dibawa oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allah dengan (penuh rasa) cinta, ridha, hormat dan patuh, serta tidak mencari petunjuk dari selain jalan (sunnah) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh. Kemudian mengikuti dengan baik agama yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan dari Allah, dengan membenarkan semua berita yang beliau sampaikan, mantaati semua kewajiban yang beliau perintahkan, meninggalkan semua perbuatan haram yang dilarangnya, serta menolong dan berjihad (membela) agamanya, sesuai dengan kemampuan unutk (mengahadapi) orang-orang yang menentangnya. Tingkatan ini harus dipenuhi (oleh setiap muslim) dan tanpanya keimanan (seseorang) tidak akan sempurna.
- Tingkatan fadhl (keutamaan/kemuliaan), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung konsekuensi meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, mengikuti sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar, dalam tingkah laku, adab (etika), ibadah-ibadah sunnah (anjuran), makan, minum, pakaian, pergaulan yang baik dengan keluarga, serta semua adab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna dan akhlak beliau yang suci. Demikian juga memberikan perhatian (besar) untuk memahami sejarah dan perjalanan hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, rasa senang dalam hati dengan mencintai, mengagungkan dan memuliakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, senang mendengarkan ucapan (hadits) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan selalu (mendahulukan) ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ucapan selain beliau. Dan termasuk yang paling utama dalam tingkatan ini adalah meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap zuhud terhadap dunia, mencukupkan diri dengan hidup seadanya (sederhana) di dunia, dan kecintaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada (balasan yang sempurna) di akhirat (kelak)” (Istinyaaqu Nasiimil Unsi min Nafahaati Riyaadhil Qudsi, hal. 34-35)
Keutamaan Mengikuti Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.” (Qs. Al Ahzaab: 21)
Ayat yang mulia ini menunjukkan
kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua
perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
“teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh
ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus)
yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala. (Lihat
keterangan Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di ketika menafsirkan ayat di atas, hal.
481)
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam
Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam
meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan,
perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 3/626)
Kemudian firman Allah Ta’ala di
akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu
keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa
semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.
Syaikh Abdurrahman As Sa’di ketika
menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata, “Teladan yang baik (pada diri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan
taufik (dari Allah Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang
mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena
(kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan
dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk
meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Penutup
Dari keterangan di atas, jelaslah
bagi kita makna mencintai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang sebenarnya, dan jelaslah besarnya keutamaan dan kemuliaan mengikuti sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka mestinya, seorang muslim yang
mengaku mencintai Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi
yang mengaku sebagai ahlus sunnah wal jama’ah, adalah orang yang paling
semangat dalam mempelajari dan menerapkan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sikap dan tingkah lakunya. Khususnya, di zaman
sekarang ketika sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi
asing dan jarang diamalkan di tengah-tengah kaum muslimin sendiri. Karena
seorang muslim yang mengamalkan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang telah dilupakan, dia akan mendapatkan dua keutamaan (pahala)
sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan
menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.
Syaikh Muhammad bih Sholeh Al ‘Utsaimin
berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat
(besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan
mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan)
sunnah di kalangan manusia.” (Manaasikul Hajji wal ‘Umrah, hal. 92)
Sebagai penutup, marilah kita camkan
bersama nasehat imam Al Khatiib Al Baghdadi dalam kitab beliau Al Jaami’ li
Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami’ (1/215) berikut ini:
“Seyogyanya para penuntut ilmu
hadits (pengikut manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah), berusaha untuk membedakan
dirinya dari kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan tingkah laku dan
sikapnya, dengan berusaha mengamalkan petunjuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam semaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan
sunnah-sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya
Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Qs. Al Ahzaab: 21)”
وصلى
الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب
العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, 15 Jumadal ula 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim
Al Buthoni, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar