BAI’AT
Oleh : Fadhilatusy Syaikh Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan
Pertanyaan :
Syaikh Salih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Fadhilatusy Syaikh ! Termasuk perkara yang dianggap remeh manusia sekarang ini adalah masalah ba'iat. Ada beberapa orang yang berpendapat boleh memberikan bai'at kepada salah satu kelompok Islam yang ada sekarang ini, kendati di sana ada bai'at-bai'at lain bagi kelompok lain pula. Kadangkala pemimpin yang dibai'at ini tidak dikenal dengan alasan masih 'dirahasiakan'. Bagaimanakah hukumnya bai'at seperti itu ? Apakah hukumnya berbeda di dalam negeri-negeri kafir atau negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah ?
Pertanyaan :
Syaikh Salih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Fadhilatusy Syaikh ! Termasuk perkara yang dianggap remeh manusia sekarang ini adalah masalah ba'iat. Ada beberapa orang yang berpendapat boleh memberikan bai'at kepada salah satu kelompok Islam yang ada sekarang ini, kendati di sana ada bai'at-bai'at lain bagi kelompok lain pula. Kadangkala pemimpin yang dibai'at ini tidak dikenal dengan alasan masih 'dirahasiakan'. Bagaimanakah hukumnya bai'at seperti itu ? Apakah hukumnya berbeda di dalam negeri-negeri kafir atau negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah ?
Jawaban.
Bai'at hanya boleh diberikan kepada penguasa kaum muslimin. Bai'at-bai'at yang berbilang-bilang dan bid'ah itu merupakan akibat perpecahan. Setiap kaum muslimin yang berada dalam satu pemerintahan dan satu kekuasaan wajib memberikan satu bai'at kepada satu orang pemimpin. Tidaklah dibenarkan memunculkan bai'at-bai'at yang lain. Bai'at-bai'at tersebut merupakan hasil perpecahan kaum muslimin pada zaman ini dan akibat kejahilan tentang agama. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang itu, beliau bersabda.
"Siapa saja yang ingin memecah
belah persatuan kalian setelah kalian sepakat mengangkat seorang pemimpin maka
tebaslah lehernya"
Atau sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika didapati orang yang ingin membangkang
pemerintah yang berdaulat dan berusaha memecah belah persatuan kaum muslimin
maka Rasulullah telah memerintahkan waliyul amri berserta segenap kaum muslimin
untuk memerangi pembangkang tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Dan jika ada dua golongan
dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah
satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali,
kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah)
maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan dan berlaku adillaj. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil" [Al-Hujurat : 9]
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu 'anhu serta beberapa sahabat yang senoir memerangi kelompok
Khawarij dan kaum pembangkang hingga berhasil ditumpas dan memadamkan kekuatan
mereka sehingga kaum musilimin aman dari kejahatan mereka. Ini merupakan sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau telah memerintahkan kaum
muslimin agar memerangi kaum pemberontak dan kelompok Khawarij yang berusaha
memecah belah persatuan kaum muslimin dan membangkang pemerintah. Semua itu
demi menjaga persatuan dan kesatuan jama'ah kaum muslimin dari rongrongan
perpecahan dan perselisihan.
Pertanyaan :
Syaikh Salih bin Fauzan Al-Fauzan
ditanya : Apa hukumnya orang yang menisbatkan dirinya kepada salah satu jama'ah
tersebut ? Khususnya kepada jama'ah yang menerapkan sistem sirriyah dan ba'iah
terhadap pengikutnya ?
Jawaban.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah mengabarkan bahwa perpecahan bakal terjadi. Pada kondisi demikian
beliau memerintahkan kita untuk berpegang teguh persatuan dan isitiqamah di
atas petunjuk Rasulllah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabat-sahabat
beliau. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam besabda.
"Umat Yahudi telah berpecah
belah menjadi tujuh puluh satu golongan. Umat Nashrani telah terpecah belah
menjadi tujuh puluh dua golongan dan umat ini akan terpecah belah menjadi tujuh
puluh tiga golongan seluruhnya masuk Neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya
: "Siapakah golongan yang satu itu, wahai Rasulullah !" Beliau
menjawab : "Siapa saja yang berada diatas pertunjukku dan di atas petunjuk
sahabat-sahabatku"
Ketika para sahabat meminta wasiat
kepada beliau, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Aku wasiatkan kamu agar selalu
bertakwa, patuh dan taat (kepada pemimpin) walaupun yang memimpin kamu adalah
seorang budak. Sebab siapa saja yang hidup sepeninggalku ia pasti melihat
perselisihan yang sangat banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan
sunnah Khulafa Rasyidin setelahku. Peganglah ia erat-erat dan gigitlah dengan
gigi gerahammu (sungguh-sungguhlhah)"
Itulah pedoman yang harus ditempuh
oleh kaum muslimin sekarang ini sampai hari Kiamat. Yaitu dalam menghadapi
perselisihan hendaklah merujuk kepada pedoman Salafush Shalih dalam masalah
apapun, terutama masalah dien, manhaj, bai'at dan lain-lain.
[Disalin dari kitab Muraja'att fi
fiqhil waqi' as-sunnah wal fikri 'ala dhauil kitabi wa sunnah, edisi Indonesia
Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur'an &
As-Sunnah, hal 59-63 Terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]
__________________________
PERBEDAAN ANTARA BAI'AT SUNNAH DAN
BAI'AT HIZBIYYAH ?
Oleh : Syaikh Abu Ubaidah Masyhur
bin Hasan Salman
Pertanyaan.
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan
Salman ditanya : Kami mohon dari anda untuk menerangkan perbedaan antara bai'at
sunnah dan baiat hizbiyyah, apa makna harakah, dan bolehkan memberikan nama
dakwah salafiyyah dengan harakah sunniyah ataupun harakah salafiyyah
Jawaban.
Ikhwan sekalian, barang siapa yang
paham menempatkan permasalahan di hulu niscaya akan selamat di hilir, kita
harus mendudukkan istilah-istilah pada posisi sebenarnya. Karena tidak tepatnya
meletakkan istilah akhirnya banyak orang kebingungan. Yang membaca karya-karya
Syaikhul Islam khususnya karya-karya Ibnu Qayyim pasti akan menemukan berapa
banyak penggunaan istilah-istilah yang keliru ini memporak-porandakan
kebenaran.
Arti bai'at yang kami pahami dari
nas-nas, tetap sebagaimana yang ada tidak ada yang baru, diantaranya Rasulullah
bersabda.
"Barang siapa yang mati dan
tidak ada diatas pundaknya bai'at maka
mati dalam keadaan jahiliyyah".
Ketika Imam Ahmad ditanya tentang
bai'at ini dia berkata: " Bai'at ini adalah bai'at untuk Imam”.
Bai'at ini memiliki hukum-hukum
khusus sebagaimana yang diatur oleh syariat. Dalam hadis panjang yang bersumber
dari Abdullah ibn Amr ibn 'Ash sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
yang intinya Rasulullah bersabda.
"Barang siapa yang membai'at
imamnya dan mengulurkan tangan menjabatnya dengan sepenuh hati maka hendaklah
mematuhinya sedaya mampu, jika ada imam lain yang muncul ingin merebut imamah
darinya maka hendaklah kalian penggal leher orang tersebut. Dalam riwayat lain
; maka penggallah leher orang yang terakhir”.
Kami tidak mengetahui makna bai'at
kecuali ini (yakni hanya untuk imam tertinggi,-pent) begitulah ditafsirkan
bai'at pada hadis pertama tadi dengan hadis kedua. Jika kita tanyakan kepada
kelompok-kelompok hizbiyyah yang menggunakan bai'at-bai'at versi mereka :
"Apakah kalian akan menerapkan hadis kedua-- yakni memenggal kepala
imam-imam lain yang dibai'at jamaahnya-- diluar kelompok kalian? mereka akan
mengatakan tidak”.
Lantas kita katakan :" Kalau
begitu bagaimana kalian membeda-bedakan hadis ini? Inilah yang disebut dalam
istilah usul fikih dengan "at-tahakkum" yatiu perkataan sekehendak
hati. Agama kita tidak dibangun diatas rasio. Adapun harakah yaitu pergerakan
dalam dakwah. Kalimat ini tidak lagi diperdebatkan, bahwa jika disebut akan
memiliki konotasi negative dan batil. Dan aku tidak tahu mengenai hal ini.
Adapun petanyaan mengenai aksi
demonstrasi dan hukum pemilihan umum memurut Islam? Sebenarnya Para ulama-ulama
besar zaman ini telah memberikan fatwa seputar masalah ini sebelum mereka
wafat, di dalam Majalah Al-Asholah telah disebutkan fatwa syaikh-syaikh kami
yakni Ibn Baaz, Syeikh Al-Albani dan Syaikh 'Utsaimin semoga Allah merahmati
mereka, yang intinya bahwa hal-hal yang ditanyakan tadi seluruhnya tidak pernah
disyariatkan.
Mengenai pemilihan umum hukumnya
adalah tidak boleh. Adapun yang membolehkannya sebenarnya karena melihat satu
sisi dan tidak melihat kepada sisi-sisi lainnya. Cukuplah bagi orang-orang yang
ingin memberikan suaranya dalam pemilu untuk menyibukkan diri dengan berjihad
diantara manusia menyebarkan aqidah dan manhajnya, hingga barang dagangannya
tersebut laris.
[Seri Soal Jawab DaurAh Syar'iyah
Surabaya 17-21 Maret 2002. Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad
Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan ,
Lc]
__________________________________
AL-BAI'AH BAINA AS-SUNNAH WAL
AL-BID'AH 'INDA AL-JAMA'AH AL-ISLAMIYAH
[BAI'AT ANTARA SUNNAH DAN BID'AH]
Oleh : Syaikh Ali Hasan Ali Abdul
Hamid Al Halabi
B A I ' A T
Ketahuilah -semoga Allah
merahmatimu- bahwa pembahasan masalah baiat merupakan pembahasan yang luas dan
panjang lebar. Dibutuhkan penjelasan tentang pengertian baiat menurut istilah
yang biasa dikenal, berapa macam-macamnya, apa arti sebenarnya, apa yang
dimaksud dengan baiat tersebut, apa hikmah yang terkandung dengan meletakkannya
di atas manhaj ini, dengan apa baiat itu wajib, atas siapa baiat diwajibkan,
syarat-syarat sempurnanya baiat, serta dengan apa baiat itu rusak.[1]
Karena pembahasannya besar dan pelik
sekali, maka kami akan meringkasnya pada dua permasalahan penting yang
menjadikan kebingungan dan perselisihan yang dahsyat atas kaum muslimin, yaitu
: "Kepada siapakah baiat itu wajib ? Apakah baiat itu boleh kepada setiap
individu?". Adapun masalah-masalah yang lain bukan di sini tempatnya untuk
membahasnya.
Kami mulai pembahasan ini dengan
definisi baiat secara etimologi maupun terminologi. Baiat secara bahasa ialah
berjabat tangan atas terjadinya jual beli, dan untuk berjanji setia dan taat.
Baiat juga mempunyai arti : janji setia dan taat. Dan kalimat "qad tabaa
ya'uu 'ala al-amri" seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas sesuatu
perkara). Dan mempunyai arti : "shofaquu 'alaihi" (membuat perjanjian
dengannya). Kata-kata "baaya'tahu" berasal dari kata
"al-baiy'u" dan "al-baiy'atu" demikian pula kata
"al-tabaaya'u". Dalam suatu hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.
'Ala tubaa yi'uunii 'ala al-islami'
"Maukah kalian membaiatku di
atas Islam"
Hadits di atas seperti suatu ungkapan
dari suatu perjanjian. seakan-akan masing-masing dari keduanya menjual apa yang
ada padanya dari saudaranya dengan memberikan ketulusan jiwa, ketaatan dan
rahasianya kepada orang tersebut. Dan telah berulang-ulang penyebutan kata
baiat di dalam hadits.[2]
Bai'at Secara Istilah (Terminologi).
"Berjanji untuk taat".
Seakan-akan orang yang berbaiat memberikan perjanjian kepada amir (pimpinan)nya
untuk menerima pandangan tentang masalah dirinya dan urusan-urusan kaum
muslimin, tidak akan menentang sedikitpun dan selalu mentaatinya untuk
melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan suka atau
terpaksa.
Jika membaiat seorang amir dan
mengikat tali perjanjian, maka manusia meletakkan tangan-tangan mereka pada
tangannya (amir) sebagai penguat perjanjian, sehingga menyerupai perbuatan
penjual dan pembeli, maka dinamakanlah baiat yaitu isim masdar dari kata baa
'a, dan jadilah baiat secara bahasa dan secara ketetapan syari'at.[3]
Dan ba'iat itu secara syar'i maupun
kebiasaan tidaklah diberikan kecuali kepada amirul mukminin dan khalifah kaum
muslimin. Karena orang yang meneliti dengan cermat kenyataan yang ada baiat
masyarakat kepada kepala negaranya, dia akan mendapati bahwa baiat itu terjadi
untuk kepala negara[4]. Dan pokok dari pembaiatan hendaknya setelah ada
musyawarah dari sebagian besar kaum muslimin dan menurut pemilihan ahlul halli
wal 'aqdi. Sedang baiat selainnya tidak dianggap sah kecuali jika mengikuti
baiat mereka [5]
Banyak sekali hadits-hadits yang
menerangkan/membicarakan tentang baiat, baik yang berisi aturan untuk berbaiat
maupun ancaman bagi yang meninggalkannya.[6] Berupa hadits-hadits yang sulit
untuk menghitung maupun menelitinya. Tetapi yang disepakati ialah bahwa baiat
yang terdapat di dalam hadits-hadits ialah baiat kolektif dan tidak diberikan
kecuali kepada pemimpin muslim yang tinggal di bumi dan menegakkan khilafah
(pemerintah) Islam sesuai dengan manhaj kenabian yang penuh dengan berkah [7]
Dibawah ini saya bawakan ayat-ayat
dan hadits-hadits tentang baiat secara ringkas.
[a]. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.
"Sesungguhnya orang-orang yang
bejanji setia kepadamu, mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di
atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya, niscaya akibat
melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati
janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberi pahala yang besar" [Al-Fath : 10]
[b]. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.
"Sesungguhnya Allah telah ridha
terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah
pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan
ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang
dekat (waktunya)" [Al-Fath
: 18]
Di dalam as-Sunnah, diantaranya.
[a] "Barangsiapa mati dan
dilehernya tidak ada baiat, maka sungguh dia telah melepas ikatan Islam dari
lehernya" [Dikeluarkan oleh Muslim dari Ibnu Umar]
[b]. "Barangsiapa berjanji
setia kepada seorang imam dan menyerahkan tangan dan yang disukai hatinya, maka
hendaknya dia menaati imam tersebut menurut kemampuannya. Maka jika datang
orang lain untuk menentangnya, maka putuslah ikatan yang lain tersebut"
[Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Dawud dari Abdillah bin Amr bin Ash]
[c]. "Jika dibaiat dua orang
khalifah maka perangilah yang terakhir dari keduanya" [Dikeluarkan oleh
Muslim dan Abu Sa'id]
Dan banyak lagi hadits-hadits yang
lainnya.
Salah seorang imam yang agung, Ahmad
bin Hanbal, imam Ahlu Sunnah wal-Jama'ah ditanya tentang riwayat dari hadits
kedua yang tersebut di atas. Di dalamnya terdapat kata imam. Beliau menjawab
:"Tahukah kamu, apakah imam itu ? Yaitu kaum muslimin berkumpul atasnya,
dan semuanya mengatakan : "Inilah imam", maka inilah makna
imam"[8]
Al-Imam Al-Qurthubi berkata [9]
:"Adapun menegakkan dua atau tiga imam dalam satu masa dan dalam satu
negeri, maka tidak diperbolehkan menurut ijma"
Kemudian setelah hilangnya
kekhalifahan, terjadilah perbedaan yang sangat tajam tentang ayat-ayat dan
hadits-hadits tersebut. Doktor Abdul Muta'al Muhammad Abdul Wahid mengatakan :
"Ketiadaannya imam adalah menjadi sebab munculnya kelompok-kelompok yang
mengklaim bahwa dirinyalah yang berhak dibaiat dan menjadi imam.
Kelompok-kelompok ini bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yang mendasar,
yaitu :
[1]. Kelompok Pertama
Mengatakan : "Sesungguhnya
orang yang meninggalkan baiat adalah kafir". Lalu mereka menetapkan
kepemimpinan bagi dirinya. Sedang orang yang tidak membaiatnya adalah kafir
menurut pandangan mereka. Ucapan ini tidak benar, sebab Ali bin Abi Thalib
-salah seorang yang diberi kabar akan masuk surga- beliau tiadak membaiat Abu
Bakar selama kurang lebih setengah tahun[10], dan tidak seorang sahabatpun yang
mengatakan tentang kekafirannya selama beliau meninggalkan baiat.
[2]. Kelompok Kedua
Mengatakan :"Sesunguhnya baiat
adalah wajib, barangsiapa yang meniggalkannya berarti dosa". Dari sinilah
mereka menetapkan seorang amir bagi diri-diri mereka, sehingga gugurlah
dosa-dosa tadi dari mereka ketika membaiatnya. Padahal yang benar adalah bahwa
dosa meninggalkan baiat tidak menjadi gugur dengan cara membaiat amir tersebut.
Karena baiat yang wajib dan berdosa orang yang meninggalkannya ialah baiat
terhadap imam (pemimpin) muslim yang menetap di bumi dan menegakkan khhilafah
Islamiyyah dengan syarat-syarat yang benar [11]
[3]. Kelompok Ketiga adalah mereka
(kaum muslimin) yang tidak membaiat seorangpun.
Mereka mengatakan :
"Sesungguhnya meninggalkan baiat adalah berdosa, tetapi baiat adalah hak
seorang pemimpin muslim yang tinggal di bumi (walau) kenyataannya tidak ada di
masa sekarang". Menurut keyakinanku, kelompok ketiga inilah yang berada di
atas kebenaran" [12]
Dan diantara hal yang menguatkan
kebatilan baiat-baiat istitsnaiyyah (pengecualian) yang merupakan perkara baru tentang
baiat kepada Amirul Mukminin -walaupun di kala tidak ada Amirul Mukminin-
terdapat dalam keterangan para ulama rahimahullah, yaitu disyariatkan dalam
baiat berkumpulnya Ahlul Halli wal Aqdi, lalu mereka membentuk keimanan bagi
seorang yang memenuhi syarat-syaratnya [13]
KESIMPULAN DAN TARJIH
Jadi yang dimaksud dengan baiat
ialah, pemberian janji dari pihak pembaiat untuk mendengar dan taat kepada
amir, baik di kala senang atau terpaksa di masa mudah atau sulit, tidak
menentang perintahnya dan menyerahkan segala urusan kepadanya. [14]
PERINGATAN
Dari keterangan yang telah lewat,
kita mendapatkan dua perkara yang penting, yaitu :
[1] Baiat tidak ada kecuali kepada
Amirul Mukminin saja.
[2] Ketaatan (kepada Amirul
Mukminin) muncul dari baiat yang hanya diberikan kepadanya saja.
Oleh karena itu batal-lah[15] semua
baiat yang diberikan kepada seseorang (bukan Amirul Mukminin) bagaimanapun
bentuknya, baik ketika ada imam atau tidak ada, ada seorang atau lebih.
Pada hakekatnya dasar pemikiran
baiat yang dimiliki sebagian jama'ah-jama'ah Islam pada prinsipnya sesuai
dengan syari'at Islam, karena mereka mengatakan di dalamnya : "Hendaknya
kita berjanji setia kepada Allah untuk menjadi tentara dalam berdakwah kepada
Islam dan di dalam baiat tersebut terdapat kehidupan negeri dan umat"[16]
Padahal ini adalah perjanjian yang diambil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala atas
semua kaum muslimin.
Kemudian terjadilah sedikit
"perkembangan" pemikiran dan organisasi pada orang-orang yang
memberlakukan baiat terhadap diri-diri mereka, sehingga terjadilah
kelompok/jamaah ikhwan membaiat pemimpin umum (al-mursid al-aam) sebagai orang
yang dipercaya penuh dan didengar serta ditaati ketika suka atau terpaksa,
sampai Allah memenangkan dakwahnya dan mengembalikan kemualiaan Islam.[17]
Kalau demikian terjadi keterjungkil balikan dan kesalahan.
Sebagai buktinya diantara sistem
kerja anggota baiat adalah taat baik di kala susah atau mudah, terpaksa atau
suka kepada kepemimpinan yang muncul dari aturan-aturan yang dipegangi oleh jama'ah.[18]
Dua keterangan terakhir ini
menjelaskan dengan gamblang bahwa baiat istitsnaiyyah yang tanpa dalil
tersebut, tidak berbeda sedikitpun dengan baiat terhadap Amirul Mukminin. Tidak
sebagaimana yang disangka oleh "sebagian orang" bahwa baiat tersebut
hanya "sekedar janji"[19] belaka !
Sebagai penambah keautentikan
penjelasan tersebut ialah bahwa para pengikut Asy-Syaikh Hasan Al-Bana
Rahimahullah menamainya dengan "Al-Imam". Padahal penamaan ini [20]
hanya bisa diperuntukkan bagi orang yang benar-benar imam. Karena diketahui
bahwa al-ustadz Hasan Al-Banna tidak menyukai kepemimpinan dan mengetahui pula
bahwa cinta kepada kepemimpinan dengan tujuan mencari kekuasaan mengakibatkan
kejelekan bagi kaum muslimin pada sejarah mereka yang panjang, maka dia (Hasan
Al-Banna -ed) menamai dirinya dengan mursyid dan tidak suka untuk menjadi
pemimpin atau amir[21]
Karena semua itulah sebagian penulis
mengatakan : "Sesungguhnya baiat yang diberikan kepada suatu jama'ah,
tidaklah sama dengan baiat yang diberikan kepada Amirul Mukminin ketika tegak
khilafah atau penguasa muslim. Karena dengan baiat tersebut perintah seorang
penguasa menjadi wajib untuk ditaati, sampai pada masalah-masalah yang mudah
jika terdapat kemaslahatan di dalamnya. Adapun baiat yang terdapat pada Ikhwan
al-Muslimin (dan katakan seperti itu juga pada jama'ah-jama'ah Islam lainnya),
maka tidak mempunyai sifat yang mewajibkan (untuk taat, -ed) dari sisi
fikih" [22]
Untuk menjawab perkataan ini dari
beberapa sisi.
Tidak terdapat dalil atas pemisahan
(baiat) ini dalam Al-Kitab dan As-Sunah.
Sebelumnya telah saya nukilkan
teks-teks dari ucapan Asy-Syaikh Hasan Al-Banna dan lainnya, dan tidak terdapat
isyarat yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan di dalamnya terdapat isyarat
kepada khilafah, tatkala menyebutkan "ketaatan yang mutlak"!!
Penelitian terhadap keberadaan
jama'ah-jama'ah Islam dan tingkah para pemimpin serta anggotanya, berlawanan
dengan pernyataan di atas. [23]
Jika anda heran wahai saudaraku
pembaca, maka lebih mengherankan lagi ucapan orang yang membantah ini yang
menyatakan bahwa baiat tersebut tidak mempunyai sifat yang mewajibkan (untuk
taat). Maka ucapan ini berarti membatalkan semua baiat dari akarnya. Hal ini
diketahui dengan menjawab dua pertanyaan berikut ini.
Jika bai'at tidak membuat adanya
suatu kewajiban (untuk taat), lalu apa faedahnya ?
Apakah di dalam syariat Islam ada
amalan yang tidak ada faedahnya ?
Orang yang mencari dan
memperhatikan, kritis dan jeli akan mengetahui jawabannya !
KESIMPULAN PEMBAHASAN DAN BEBERAPA
TAMBAHAN
Baiat dengan berbagai macamnya tidak
diberikan kecuali kepada khalifah kaum muslimin yang melaksananakan hukum-hukum
dan menetapkan hukum had.
Mendengar dan taat tidak ada kecuali
bagi orang yang Allah memberikan perintah untuk mentaatinya. Dan yang menjadi
fokus pembahasan kita di sini adalah Amirul Mukmin saja! [24]
Disebabkan oleh perbedaan kaum
muslimin sekarang ini dalam memahami baiat dan tidak sepakatnya mereka di atas
pemahaman yang syar'i dan benar tentang baiat, maka mereka saling bermusuhan,
berpecah belah dan bersilang pendapat. Suatu kondisi yang akan menimbulkan
penyimpangan di dalam beramal bersama hukum-hukum fikih. Begitu pula anggapan
bahwa mereka adalah jama'atul muslimin, dapat menimbulkan kerusakan dan
menghukumi kaum muslimin di luar lingkup mereka dengan hukum-hukum yang justru
akan menjauhkan mereka dengan risalah yang sesungguhnya, karena celah-celah
dakwah kepada Allah telah terkunci.[25] Bukti semua itu (sebagai contoh) bahwa
di New York saja terdapat lebih dari empat puluh kelompok yang menyeru kepada
Islam, akan tetapi setiap jama'ah menyeru kepada Islam yang berbeda seruan
Islamnya dengan yang lain.[26]
Atas dasar itulah, wajib bagi kita
untuk benar-benar meyakini bahwa gejala munculnya banyak kelompok di dalam
pergerakan Islam tidak mungkin dianggap sebagai gejala yang sehat, karena
efeknya bagi perkembangan Islam negatif dan buruk. Sedang akibatnya akan
menimbulkan kesulitan di antara para aktifis serta menyibukkan mereka sendiri
yaitu ketika menghadapi gugurnya sebagian anggota dakwah dan beban-beban yang
lainnya.[27] Maka kenyataan yang dapat disaksikan bahwa keadaan para da'i pada
masa sekarang ini adalah hasil dari perpecahan yang tajam dan menyakitkan ini,
suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Bahkan suatu keadaan yang sangat
menyedihkan yang tidak boleh terus berlarut-larut keadaannya. Dan setiap muslim
bertanggung jawab untuk mengobati gejala ini, agar kaum muslimin kembali
sebagaimana sebelumnya yaitu sebagai umat terbaik yang dikeluarkan bagi mausia
dan agar agama ini semuanya hanya untuk Allah.[28]
Tidak hanya dalam satu ayat saja
dari kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala terdapat perintah untuk bersatu dan
bermufakat serta larangan untuk berselisih dan berpecah belah. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman.
"Dan janganlah kamu menyerupai
orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas
kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat."
[Ali-Imran : 105]
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.
"Dan ini adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu ikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa" [Al-An'am : 153]
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.
"Dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu
dan bersabarlah. Sesunguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar"
[Al-Anfal : 46]
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.
"Kemudian mereka menjadikan
agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tipa golongan merasa
bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka" [Al-Mukminun : 53]
Masih banyak lagi ayat-ayat lain yang
mulia[29], yang menerangkan dengan tegas tentang tidak bolehnya kaum muslimin
berpecah belah di dalam agama mereka menjadi kelompok-kelompok dan hizb-hizb
yang saling melaknat sebagian atas sebagian yang lain dan saling memerangi
sebagian atas sebagian yang lain. Karena sesungguhnya perpecahan ini adalah
termasuk perbuatan yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan Allah
mencela orang yang mengada-adakannya atau mengikuti ahlinya, serta memberi
ancaman bagi pelakunya dengan siksa yang pedih.... [30]
_________
Foote Note.
[1]. Bahjah an-Nufus Syarh
Mukhtashar al-Bukhari (I/28), Ibnu Abi Jamrah
[2]. Lisanul Arab al-Muhith (I/299) dan an-Nihayah (I/174)
[3]. Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.299
[4]. Al-Ushul Fikriyyah li al-Tsaqafah al-Islamiyah (2/73) dan Qawaid Nizham al-Hukmi (262), keduanya tulisan al-Kahlidi
[5]. Al-Khilafah ... hal.13. Rasyid Ridha
[6]. Lihat Hayah as-Shahabah (I/28-239) dan Miftah Kunuz al-Sunnah, hal. 80-86, dan lain-lain
[7]. Al-Furqan baina al-Kufri wa al-Iman, hal.63, Abdul Muta'al Muhammad Abdul Wahid
[8]. Masa'il al-Imam Ahmad (2/185) riwayat Ibnu Hani'
[9]. Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an (I/273). Dan lihat syarh an-Nawawi atas shahih al-Bukhari (12/231)
[10]. Dan ini tidak benar secara mutlak, lihat perinciannya dalam kitab Tahdzir Al-Abqari min Muhadharat al-Khudhari (I/198) karya Al-Syaikh Muhammad al-Arabi al-Tibyani
[11]. Walaupun dia (khilafah) berlaku zhalim. Dan ini adalah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebagaimana dalam kitab Syarh 'Aqidah al-Thahawiyyah, hal.379
[12]. Al-Furqan Baina al-Kufri wa al-Iman, hal.64, Abdul Muta'al Muhammad Abdul Wahid
[13]. Maatsirul Anafah fi Ma'alim al-Khilafah (I/39) al-Qalqasynadi
[14]. An-Nizham as-Siyasi fi al-Islam, hal.299-300, Abdul Qadir Ani Haris
[15]. Maka wajib bagi orang yang terkungkung dengan baiat-baiat bid'ah seperti ini untuk meninggalkan dan mebatalkannya. Karena baiat tersebut batil. Selain demi menjaga agama dan untuk mengikutinya.
[16]. Mudzakirat al-Da'wah wa al-Daiyyah, hal, 72 Hasan al-Banna. Dan lihat pembahasan selanjutnya, hal.35
[17]. Idem, hal.194. Doktor Zakariya Sulaiman Biyumi berkata di dalam kitabnya Al-Ikhwan al-Muslimin wa al-Jama'at al-Islamiyah hal.75 : "Dan al-Banna pada masalah tersebut terpengaruh pada kitab-kitab Thariqah al-Hashafiyyah yang pada tahapan-tahapannya akan memindahkan seorang pengikut menjadi pemabiat ..." dan seterusnya. Dan lihat penagruh Thariqat al-Hashafiyyah pada pribadi Hasan al-Banna dan dakwahnya di dalam At-Tafsir as-Siyasi li al-Islam, hal.130 oleh An-Nadwi
[18]. Al-Madkhal ila Da'wah al-Ikhwan al-Muslimin, hal.123. Sa'id Hawa
[19]. Akan datang bantahannya disertai penjelasan pertentangan orang yang mengucapkan perkataan tersebut, Inys Allah Ta'ala.
[20]. Jangan sampai ada orang yang mengatakan : 'Tidak lain yang dimaksud oleh mereka adalah imam di bidang ilmu, dengan bukti kualitas keilmuannya di dalam karangan-karangan dan kitab-kitabnya. Dan apa yang diucapkan sendiri tentang pribadinya di dalam Al-Mudzakkirat, hal.65.
[21]. Fiqh al-Da'wah al-Islamiyah ..." hal, 23. oleh Al-Ghazali. Dan lihat apa yang diceritakan sendiri oleh Hasan al-Banna di dalam Al-Mudzakkirat, hal. 114-115, tentang apa yang dilakukan oleh ornag yang mempunyai kedudukan dan keamiran.
[22]. Al-Ijabaat, hal.87. Sa'id Hawwa. Padanya banyak sekali pertentangan di dalam masalah baiat bila dibandingkan karangannya Tarbiyatuna al-Ruhiyyah, hal.243-245
[23]. Lihat al-Jama'at al-Islamiyyah fi Dhaul al-Kitab wa al-Sunnah, hal.100-108, Salim Al-Hilali
[24]. Didalamnya terdapat isyarat untuk taat kepada kedua orang tua, ulama dan lain sebagainya. Dan bukan disini pembahasannya.
[25]. Fiqh al-Da'wah al-Islamiyyah, hal.22 Muhammad al-Ghozali
[26]. Al-Syura fi Dzili Nidzom al-Hukmu al-Islami, hal.33 Abdurrahman Abdul Khaliq
[27]. Al-Mustaqitun fi Thariq al-Da'wah, hal.126 Fathi Yakan. Di dalamnya banyak sekali kesalahan, terutama judulnya
[28]. Manhaj al-Anbiya fi al-Dakwah Ilallah (I/128) Muhammad Surur Zaenal Abidin
[29]. Lihat al-Dustur al-Qur'ani wa al-Sunnah al-Nabwiyyah fi syu'uni al-Hayah (2/26, 314), Muhammad Izzah Druzah
[30]. Fatwa nomor 1674, Lajnah Ad-Da'imah li al-Buhuts al-Ilmiyya wa al-ifta, dengan ketua al-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. Di dalamnya terdapat pembahasan tentang haramnya berpecah belah dan hizbiyyah.
[2]. Lisanul Arab al-Muhith (I/299) dan an-Nihayah (I/174)
[3]. Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.299
[4]. Al-Ushul Fikriyyah li al-Tsaqafah al-Islamiyah (2/73) dan Qawaid Nizham al-Hukmi (262), keduanya tulisan al-Kahlidi
[5]. Al-Khilafah ... hal.13. Rasyid Ridha
[6]. Lihat Hayah as-Shahabah (I/28-239) dan Miftah Kunuz al-Sunnah, hal. 80-86, dan lain-lain
[7]. Al-Furqan baina al-Kufri wa al-Iman, hal.63, Abdul Muta'al Muhammad Abdul Wahid
[8]. Masa'il al-Imam Ahmad (2/185) riwayat Ibnu Hani'
[9]. Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an (I/273). Dan lihat syarh an-Nawawi atas shahih al-Bukhari (12/231)
[10]. Dan ini tidak benar secara mutlak, lihat perinciannya dalam kitab Tahdzir Al-Abqari min Muhadharat al-Khudhari (I/198) karya Al-Syaikh Muhammad al-Arabi al-Tibyani
[11]. Walaupun dia (khilafah) berlaku zhalim. Dan ini adalah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebagaimana dalam kitab Syarh 'Aqidah al-Thahawiyyah, hal.379
[12]. Al-Furqan Baina al-Kufri wa al-Iman, hal.64, Abdul Muta'al Muhammad Abdul Wahid
[13]. Maatsirul Anafah fi Ma'alim al-Khilafah (I/39) al-Qalqasynadi
[14]. An-Nizham as-Siyasi fi al-Islam, hal.299-300, Abdul Qadir Ani Haris
[15]. Maka wajib bagi orang yang terkungkung dengan baiat-baiat bid'ah seperti ini untuk meninggalkan dan mebatalkannya. Karena baiat tersebut batil. Selain demi menjaga agama dan untuk mengikutinya.
[16]. Mudzakirat al-Da'wah wa al-Daiyyah, hal, 72 Hasan al-Banna. Dan lihat pembahasan selanjutnya, hal.35
[17]. Idem, hal.194. Doktor Zakariya Sulaiman Biyumi berkata di dalam kitabnya Al-Ikhwan al-Muslimin wa al-Jama'at al-Islamiyah hal.75 : "Dan al-Banna pada masalah tersebut terpengaruh pada kitab-kitab Thariqah al-Hashafiyyah yang pada tahapan-tahapannya akan memindahkan seorang pengikut menjadi pemabiat ..." dan seterusnya. Dan lihat penagruh Thariqat al-Hashafiyyah pada pribadi Hasan al-Banna dan dakwahnya di dalam At-Tafsir as-Siyasi li al-Islam, hal.130 oleh An-Nadwi
[18]. Al-Madkhal ila Da'wah al-Ikhwan al-Muslimin, hal.123. Sa'id Hawa
[19]. Akan datang bantahannya disertai penjelasan pertentangan orang yang mengucapkan perkataan tersebut, Inys Allah Ta'ala.
[20]. Jangan sampai ada orang yang mengatakan : 'Tidak lain yang dimaksud oleh mereka adalah imam di bidang ilmu, dengan bukti kualitas keilmuannya di dalam karangan-karangan dan kitab-kitabnya. Dan apa yang diucapkan sendiri tentang pribadinya di dalam Al-Mudzakkirat, hal.65.
[21]. Fiqh al-Da'wah al-Islamiyah ..." hal, 23. oleh Al-Ghazali. Dan lihat apa yang diceritakan sendiri oleh Hasan al-Banna di dalam Al-Mudzakkirat, hal. 114-115, tentang apa yang dilakukan oleh ornag yang mempunyai kedudukan dan keamiran.
[22]. Al-Ijabaat, hal.87. Sa'id Hawwa. Padanya banyak sekali pertentangan di dalam masalah baiat bila dibandingkan karangannya Tarbiyatuna al-Ruhiyyah, hal.243-245
[23]. Lihat al-Jama'at al-Islamiyyah fi Dhaul al-Kitab wa al-Sunnah, hal.100-108, Salim Al-Hilali
[24]. Didalamnya terdapat isyarat untuk taat kepada kedua orang tua, ulama dan lain sebagainya. Dan bukan disini pembahasannya.
[25]. Fiqh al-Da'wah al-Islamiyyah, hal.22 Muhammad al-Ghozali
[26]. Al-Syura fi Dzili Nidzom al-Hukmu al-Islami, hal.33 Abdurrahman Abdul Khaliq
[27]. Al-Mustaqitun fi Thariq al-Da'wah, hal.126 Fathi Yakan. Di dalamnya banyak sekali kesalahan, terutama judulnya
[28]. Manhaj al-Anbiya fi al-Dakwah Ilallah (I/128) Muhammad Surur Zaenal Abidin
[29]. Lihat al-Dustur al-Qur'ani wa al-Sunnah al-Nabwiyyah fi syu'uni al-Hayah (2/26, 314), Muhammad Izzah Druzah
[30]. Fatwa nomor 1674, Lajnah Ad-Da'imah li al-Buhuts al-Ilmiyya wa al-ifta, dengan ketua al-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. Di dalamnya terdapat pembahasan tentang haramnya berpecah belah dan hizbiyyah.
[Disalin dari kitab Al-Bai'ah baina
as-Sunnah wa al-bid'ah 'inda al-Jama'ah al-Islamiyah, edisi Indonesia Bai'at
antara Sunnah dan Bid'ah oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, terbitan
Yayasan Al-Madinah, penerjemah Arif Mufid MF.]
Read more: http://abuayaz.blogspot.com/2010/06/hukum-baiat.html#ixzz3E5tPqIfx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar