Hadits
Sebagai Sumber Hukum
A. DALIL-DALIL YANG MENETAPKANNYA
1. Menurut Akal
Yaitu
mempercayai Al-Hadits berdasarkan ucapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam yang tidak lain merupakan wahyu dari Allah Ta’ala dimana terkadang isi
dan redaksinya benar-benar asli dari Allah Ta’ala atau terkadang merupakan
hasil ijtihad beliau semata. Maka sudah selayaknya kita sebagai muslim yang
mengakui Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai utusan Allah menaati
segala perkataannya dan menganggapnya sebagai sumber hukum positif.
2. Menurut Petunjuk Nash Al-Qur’an
Berdasarkan
Firman Allah Ta’ala:
“Apa-apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu,
terimalah dan apa-apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr:7)
“Dan kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan
untuk ditaati dengan izin Allah.” (QS.
An-Nisaa:64)
3. Ijma para sahabat
Para
sahabat sepakat untuk menetapkan wajibu’l-ittiba’ terhadap Al-Hadits, baik pada
saat Rasulullah masih hidup atau sepeninggalnya.Mereka bila tidak menjumpai
ketentuan dalam Al-Qur’an tentang suatu perkara maka mereka mencari
ketentuannya dalam Al-Hadits atau menanyakan langsung pada seseorang yang masih
mengungatnya.
B. GOLONGAN YANG MENOLAK KEHUJJAHAN AL-HADITS
Alasan
penolakan Al-Hadits sebagai sumber syariat setelah Al-Qur’an dari sebagian
kecil umat islam (Golongan Khawarij dan Mu’tazilah), adalah sebagai berikut:
1. Firman
Allah Ta’ala :
“Dan kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu
sebagai penjelas segala sesuatu.(QS.
AN-Nahl:89)”
2.
Seandainya Al-Hadits dijadikan sebagai hujjah, maka seharusnya Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan para sahabat untuk membukukannya
untuk memelihara agar tidak tercecer dan tidak dilupakan orang, untuk menutup
kemungkinan adanya kesalahan penulisan dari perawinya.
Alasan-alasan
tersebut kurang kuat karena:
1.
Al-Qur’an memuat dasar-dasar agama dan kaidah-kaidahumum dan sebagian nashnya
telah diterangkan dengan jelas dan sebagian lain diterangkan oleh Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam. Oleh karenanya penjelasan Rasulullah tentang
hokum-hukum itu adalah penjelasan Al-Qur’an juga. Firman Allah Ta’ala :
“Dan kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu agar
engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan mudah-mudahan mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl:44)
2. Tiada
perintah untuk membukukan AL-Hadits pada saat Rasulullah masih hidup adalah
karena lebih dipentingkannya membukukan Al-Qur’an agar tidak hilang dan tidak
bercampur baur dengan hadits. Sedangkan untuk penulisan Al-Hadits telah dipilih
para sahabat yang adil dan terpercaya dan yang terkenal kuat hafalannya.
C. PERBENDAHARAAN AL-HADITS TERHADAP AL-QUR’AN
Perbendaharaan
Al-Hadits terhadap AL-Qur’an berfungsi sebagai berikut:
1.
Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh
Al-Qur’an, dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya
firman Allah tentang haramnya bersaksi palsu:
“Dan jauhilah perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30)
kemudian
hadits Nabi menguatkannya:
“Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu
sekalian sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut kami: “Baiklah, wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda, “pertama musyrik kepada Allah dan yang kedua menyakitikedua
orangtua.” Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya
bersabda, “Awas! Berkata (bersaksi) palsu…” (HR. Bukhari Muslim)
2.
Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal,
memberikan taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mutlak dan
memberikan takhshish (penentuan khusus) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum.
Misalnya perintah mengerjakan shalat, membayar zakat dan ibadah haji. AL-Qur’an
tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat,
nisab-nisab zakat, juga cara melakukan ibadah haji; tetapi semuanya itu telah
ditafshil (diperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits)
3.
Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an. Dalam
hal ini hukum atau aturan itu hanya berdasarkan Al-Hadits semata. Misalnya
larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya,
“Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu)
seorang wanita dengan amah (saudari bapaknya) dan seorang wanita dengan khalah
(saudari ibunya).” (HR.
Bukhari Muslim)
Sejarah
Pertumbuhan Ilmu Hadits
1. Larangan menulis Al-Hadits
Pada masa
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam masih hidup, AL-Hadits belum mendapat
perhatian sepenuhnya seperti Al-Qur’an yang telah diabadikan oleh para
sahabat-sahabat tertentu di atas alat-alat yang memungkinkan dipergunakan.
AL-Hadits (yang disampaikan oleh Rasulullah SAW) hanya ditanggapi sebatas akal
dan nalar saja oleh para sahabat tanpa diabadikan dalam bentuk tulisan. Hal
yang melatarbelakangi pendirian tersebut adalah karena adanya sabda Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam, yakni:
“Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima
dariku selain Al-Qur’an. Baarangsiapa menuliskan yang ia terima dariku selain
Al-Qur’an hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak
mengapa. Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia
menduduki tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim)
Adapun
larangan penulisan hadits tersebut adalah untuk menghindarkan adanya
kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan Al-Hadits kedalam
lembaran-lembaran tulisan Al-Qur’an, karena dianggapnya segala yang dikatakan
Rasululullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah wahyu. Terutama bagi generasi
selanjutnya yang tidak menyaksikan turunnya wahyu, tidak mustahil adanya dugaan
bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu, hingga bercampur aduk antara
Al-Qur’an dengan Al-Hadits.
2. Perintah menulis Hadits
Perintah
untuk menulis hadits adalah berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam sesaat setelah terjadinya Fathu Mekkah (Kejatuhan Mekkah kepada Tentara
Muslim). Disaat beliau berpidato dihadapan para manusia, tiba-tiba seorng
lelaki yang berasal dari Yaman yang brnama Abu Syah berdiri dan bertanya kepada
beliau:
“Ya Rasulullah! Tulislah untukku!” Jawab Rasulullah:
“Tulislah oleh kamu sekalian untuknya.” (HR. Abu Hurairah)
Selain
melarang untuk menuliskan Al-Hadits, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
juga telah memerintahkan beberapa sahabat tertentu untuk menuliskan Al-Hadits.
Para sahabat yang telah berjasa dalam mengabadikan Al-Hadits dalam bentuk
tulisan, antara lain sebagai berikut:
a. Abdullah bin Amr bin Ash Radhiallahu Anhu (7
sebelum H—65 H)
Abdullah
bin Amr bin Ash Radhiallahu Anhu adalah seorang sahabat yang selalu menuliskan
apa-apa yang didengarnya dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Naskah Abdullah bin Amr dinamai dengan “Ash-Shahifah Ash-Shadiqah”, karena
ditulisnya secara langsung dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
merupakan sebenar-benarnya atau yang diriwayatkan daripadanya. Naskah Hadits
Ash-Shadiqah berisi 1000 hadits dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya
sepeninggalnya.
Cucunya
yang bernama Amr bin Syuaib meriwayatkan hadits-hadits tersebut sebanyak 500
hadits. Bila naskah Ash-Shadiqah tidak sampai kepada kita menurut bentuk
aslinya maka dapatlah kita temukan secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad,
Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasaiy, Sunan At-Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah.
b. Jabir bin Abdullah Al-Anshary Radhiallahu Anhu
(16—73 H)
Naskah
hadits Jabir bin Abdullah Al-Anshary dinamai “Shahifah Jabir”. Qatadah bin
Da’amah As-Sudusy memuji naskah Jabir, “Sungguh Shahifah ini lebih kuhafal dari
surat Al-Baqarah.”
c. Human bin Munabbih (40—131 H)
Beliau
adalah seorang Tabiin yang alim yang berguru kepada Abu Hurairah Radhiallahu
Anhu dan banyak mengutip hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Naskahnya dinamai “Ash-Shahifah Ash-Shahihah” Yang berisi sebanyak 138 hadits.
Imam Ahmad
di dalam musnadnya menukil keseluruhan hadits Human bin Munabbih, sedangkan
Imam Bukhari banyak menukil hadits-hadits tersebut kedalam kitab shahihnya,
terdapat dalam beberapa bab.
Ketiga buah
naskah hadits tersebut adalah diantara sekian banyak tulisan hadits yang
ditulis oleh para sahabat dan tabiin pada generasi pertama.
Nash-nash
yang melarang menulis hadits disatu pihak dan yang mengizinkan dilain pihak
bukanlah merupakan nash-nash yang saling bertentangan, akan tetapi hal itu
dapat diasumsikan sebagai berikut:
1. Bahwa
larangan menulis hadits itu terjadi pada awal dakwah islam untuk memelihara
agar hadits tidak tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah jumlah kaum
muslimin yang menghafal Al-Qur’an semakin banyak maka hokum larangan menulis
Al-Hadits telah dinasakhkan dengan perintah yang membolehkannya. Dengan demikian
hokum menulisnya adalah boleh.
2. Bahwa
larangan menulis AL-Hadits itu bersifat umum sedangkan perizinannya bersifat
khusus, tertentu bagi orang-orang yang mempunyai keahlian tulis menulis
sehingga terjaga dari kekeliruan penulisan dan tidak dikhawatirkan akan salah.
3. Bahwa
larangan menulis Al-Hadits ditujukan kepada orang yang lebih kuat menghafalnya
daripada menulisnya, sedang perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang
tidak kuat hafalannya seperti Abu Syah.
Sistem meriwayatkan Hadits
1. Dengan
Lafadz yang asli dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
2. Dengan
maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkannya.
Hal ini
disebabkan karena mereka sudah tidak ingat betul pada lafadz aslinya disamping
itu dalam penulisan hadits yang dipentingkan adalah dari segi isinya dimana
kandungan dan maknanya tidak berubah. Berbeda dengan Al-Qur’an dimana susunan
bahasa dan maknanya sedikitpun tidak boleh diubah karena Al-Qur’an merupakan
mukjizat dari Allah Ta’ala.
Karena
kesibukan para sahabat dalam hal menuliskan dan menyiarkan Al-Qur’an maka
perkembangan periwayatan Al-haditspun terlambat, juga pada masa pemerintahan
Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu Anhu dan Khalifah Umar bin Khattab
Radhiallahu Anhu. Hal itu disebabkan anjuran beliau pada para sahabat agar
mengutamakan pensyiaran Al-Qur’an. Karena masyarakat pada waktu itu belum
sepenuhnya mengenal Al-Qur’an sebagai dasar syariat yang pertama.
Periwayatan
Al-Hadits mulai berkembang pada saat pemerintahan khalifah Utsman bin Affan.
Para sahabat kecil dan tabiin mulai menaruh perhatian serius dalam mencari dan
mengumpulkan Al-Hadits dari para sahabat besar yang jumlahnya kian hari kian
berkurang dan telah bertebaran dipelbagai pelosok. Oleh karena itu tidak sedikit
dari mereka yang rela merantau guna menggali beberapa hadits dari para sahabat.
Contohnya
adalah Abu Ayyub Al-Anshari yang pergi ke Mesir guna menemui sahabat Uqbah bin
Amir untuk menanyakan hadits yang berbunyi:
“Barangsiapa yang menutupi kesulitan seorang
muslim di dunia, Allah akan menutupi kesulitannya pada hari kiamat.”
Hadits
maudlu (palsu) mulai berkembang pada awal berdirinya Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Hadits Maudlu adalah ucapan atau buah pikiran seseorang yang didkwakan
kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
·
* *
B. MENULIS DAN MEMBUKUKAN AL-HADITS SECARA RESMI
(Abad II)
1. Perintis dan sejarah (Motif) membukukan
Al-Hadits.
Urgensi
untuk membukukan Al-Hadits dirintis pertama kali oleh Khalifah Umar bin abdul
Aziz (Seorang Khalifah Bani Umayyah yang menjabat khalifah anatara tahun 99—101
H). Adapun motivasinya adalah sebagai berikut:
a. Adanya
kekhawatiran akan hilangnya Al-Hadits dari perbendaharaan masyarakat
dikarenakan belum dibukukan.
b. Adanya
kemauan untuk membersihkan dan memelihara Al-Hadits dari hadits-hadits maudlu
(palsu)
c.
Hilangnya kekhawatiran bercampur aduknya Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagaimana
pada zaman Rasulullah Shllallahu Alaihi wa Sallam dan Khulafaur Rasyidin karena
telah banyak orang yang menghafal Al-Qur’an.
Beliau
menginstrusikan kepada Walikota Madinah, abu Bakar bin mar bin Hazm ( -117H)
untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan Ibnu Syihab Az-Zuhry, seorang
Imam dan Ulama besar di Hijaz dan Syam ( …..—124H)
2. Ciri-Ciri Kitab Hadits yang dibukukan pada abad
II
Karya ulama
abad II ini masih bercampur aduk antara hadits-hadits Rasulullah dan
fatwa-fatwa sahabat dan tabiin sehingga belum dapat dibedakan antara hadits
yang marfu’, mauquf dan maqthu dan diantara hadits Shahih, hasan dan Dhaif.
Pemuka
hadits yang telah mempunyai inisiatif untuk mengklasifikasikan hadits pada
masalah yang menjurus adalah Al-Imam Asy-Syafi’iy, yakni masalah talak.
3. Kitab-Kitab Hadits yang masyhur
a. Al-Muwaththa.
Disusun
oleh Imam Malik pada tahun 144 H atas anjuran Khalifah Al-Mansur. Jumlahnya
lebih kurang 1720 Hadits.As-Suyuthi mensyarahkan kitab tersebut dengan nama
Tanwiru’l-Hawalik dan Al-Malik dengan nama Mukhtasharu’l-Khaththaby.
b. Musnadu’sy-Syafi’iy
Disusun
oleh Imam Syafi’iy dengan mencantumkan seluruh haditsnya dalam kitab Al-Umm.
c. Mukhtalifu’l-Hadits.
Karya Imam
Syafi’iy yang menjelaskan cara-cara menerima hadits sebagai hujjah dan cara
mengkompromikan hadits-hadits yang tampaknya kontradiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar