Senin, 10 Agustus 2015

Hadits Sebagai Sumber Hukum DAN Sejarah Pertumbuhan Ilmu Hadits



Hadits Sebagai Sumber Hukum

A. DALIL-DALIL YANG MENETAPKANNYA

1. Menurut Akal
Yaitu mempercayai Al-Hadits berdasarkan ucapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang tidak lain merupakan wahyu dari Allah Ta’ala dimana terkadang isi dan redaksinya benar-benar asli dari Allah Ta’ala atau terkadang merupakan hasil ijtihad beliau semata. Maka sudah selayaknya kita sebagai muslim yang mengakui Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai utusan Allah menaati segala perkataannya dan menganggapnya sebagai sumber hukum positif.

2. Menurut Petunjuk Nash Al-Qur’an
Berdasarkan Firman Allah Ta’ala:
“Apa-apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr:7)
“Dan kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.” (QS. An-Nisaa:64)
3. Ijma para sahabat
Para sahabat sepakat untuk menetapkan wajibu’l-ittiba’ terhadap Al-Hadits, baik pada saat Rasulullah masih hidup atau sepeninggalnya.Mereka bila tidak menjumpai ketentuan dalam Al-Qur’an tentang suatu perkara maka mereka mencari ketentuannya dalam Al-Hadits atau menanyakan langsung pada seseorang yang masih mengungatnya.

B. GOLONGAN YANG MENOLAK KEHUJJAHAN AL-HADITS
Alasan penolakan Al-Hadits sebagai sumber syariat setelah Al-Qur’an dari sebagian kecil umat islam (Golongan Khawarij dan Mu’tazilah), adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah Ta’ala :
“Dan kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu sebagai penjelas segala sesuatu.(QS. AN-Nahl:89)”
2. Seandainya Al-Hadits dijadikan sebagai hujjah, maka seharusnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan para sahabat untuk membukukannya untuk memelihara agar tidak tercecer dan tidak dilupakan orang, untuk menutup kemungkinan adanya kesalahan penulisan dari perawinya.
Alasan-alasan tersebut kurang kuat karena:
1. Al-Qur’an memuat dasar-dasar agama dan kaidah-kaidahumum dan sebagian nashnya telah diterangkan dengan jelas dan sebagian lain diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Oleh karenanya penjelasan Rasulullah tentang hokum-hukum itu adalah penjelasan Al-Qur’an juga. Firman Allah Ta’ala :
“Dan kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan mudah-mudahan mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl:44)
2. Tiada perintah untuk membukukan AL-Hadits pada saat Rasulullah masih hidup adalah karena lebih dipentingkannya membukukan Al-Qur’an agar tidak hilang dan tidak bercampur baur dengan hadits. Sedangkan untuk penulisan Al-Hadits telah dipilih para sahabat yang adil dan terpercaya dan yang terkenal kuat hafalannya.

C. PERBENDAHARAAN AL-HADITS TERHADAP AL-QUR’AN
Perbendaharaan Al-Hadits terhadap AL-Qur’an berfungsi sebagai berikut:
1. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya firman Allah tentang haramnya bersaksi palsu:
“Dan jauhilah perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30)
kemudian hadits Nabi menguatkannya:
“Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut kami: “Baiklah, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “pertama musyrik kepada Allah dan yang kedua menyakitikedua orangtua.” Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda, “Awas! Berkata (bersaksi) palsu…” (HR. Bukhari Muslim)
2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mutlak dan memberikan takhshish (penentuan khusus) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya perintah mengerjakan shalat, membayar zakat dan ibadah haji. AL-Qur’an tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, nisab-nisab zakat, juga cara melakukan ibadah haji; tetapi semuanya itu telah ditafshil (diperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits)
3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini hukum atau aturan itu hanya berdasarkan Al-Hadits semata. Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya,
“Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan amah (saudari bapaknya) dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibunya).” (HR. Bukhari Muslim) 



Sejarah Pertumbuhan Ilmu Hadits

1. Larangan menulis Al-Hadits
Pada masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam masih hidup, AL-Hadits belum mendapat perhatian sepenuhnya seperti Al-Qur’an yang telah diabadikan oleh para sahabat-sahabat tertentu di atas alat-alat yang memungkinkan dipergunakan. AL-Hadits (yang disampaikan oleh Rasulullah SAW) hanya ditanggapi sebatas akal dan nalar saja oleh para sahabat tanpa diabadikan dalam bentuk tulisan. Hal yang melatarbelakangi pendirian tersebut adalah karena adanya sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yakni:
“Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain Al-Qur’an. Baarangsiapa menuliskan yang ia terima dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak mengapa. Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim)
Adapun larangan penulisan hadits tersebut adalah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan Al-Hadits kedalam lembaran-lembaran tulisan Al-Qur’an, karena dianggapnya segala yang dikatakan Rasululullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah wahyu. Terutama bagi generasi selanjutnya yang tidak menyaksikan turunnya wahyu, tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu, hingga bercampur aduk antara Al-Qur’an dengan Al-Hadits.

2. Perintah menulis Hadits
Perintah untuk menulis hadits adalah berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sesaat setelah terjadinya Fathu Mekkah (Kejatuhan Mekkah kepada Tentara Muslim). Disaat beliau berpidato dihadapan para manusia, tiba-tiba seorng lelaki yang berasal dari Yaman yang brnama Abu Syah berdiri dan bertanya kepada beliau:
“Ya Rasulullah! Tulislah untukku!” Jawab Rasulullah: “Tulislah oleh kamu sekalian untuknya.” (HR. Abu Hurairah)
Selain melarang untuk menuliskan Al-Hadits, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga telah memerintahkan beberapa sahabat tertentu untuk menuliskan Al-Hadits. Para sahabat yang telah berjasa dalam mengabadikan Al-Hadits dalam bentuk tulisan, antara lain sebagai berikut:

a. Abdullah bin Amr bin Ash Radhiallahu Anhu (7 sebelum H—65 H)
Abdullah bin Amr bin Ash Radhiallahu Anhu adalah seorang sahabat yang selalu menuliskan apa-apa yang didengarnya dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Naskah Abdullah bin Amr dinamai dengan “Ash-Shahifah Ash-Shadiqah”, karena ditulisnya secara langsung dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang merupakan sebenar-benarnya atau yang diriwayatkan daripadanya. Naskah Hadits Ash-Shadiqah berisi 1000 hadits dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggalnya.
Cucunya yang bernama Amr bin Syuaib meriwayatkan hadits-hadits tersebut sebanyak 500 hadits. Bila naskah Ash-Shadiqah tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya maka dapatlah kita temukan secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasaiy, Sunan At-Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah.

b. Jabir bin Abdullah Al-Anshary Radhiallahu Anhu (16—73 H)
Naskah hadits Jabir bin Abdullah Al-Anshary dinamai “Shahifah Jabir”. Qatadah bin Da’amah As-Sudusy memuji naskah Jabir, “Sungguh Shahifah ini lebih kuhafal dari surat Al-Baqarah.”

c. Human bin Munabbih (40—131 H)
Beliau adalah seorang Tabiin yang alim yang berguru kepada Abu Hurairah Radhiallahu Anhu dan banyak mengutip hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Naskahnya dinamai “Ash-Shahifah Ash-Shahihah” Yang berisi sebanyak 138 hadits.
Imam Ahmad di dalam musnadnya menukil keseluruhan hadits Human bin Munabbih, sedangkan Imam Bukhari banyak menukil hadits-hadits tersebut kedalam kitab shahihnya, terdapat dalam beberapa bab.
Ketiga buah naskah hadits tersebut adalah diantara sekian banyak tulisan hadits yang ditulis oleh para sahabat dan tabiin pada generasi pertama.
Nash-nash yang melarang menulis hadits disatu pihak dan yang mengizinkan dilain pihak bukanlah merupakan nash-nash yang saling bertentangan, akan tetapi hal itu dapat diasumsikan sebagai berikut:
1. Bahwa larangan menulis hadits itu terjadi pada awal dakwah islam untuk memelihara agar hadits tidak tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah jumlah kaum muslimin yang menghafal Al-Qur’an semakin banyak maka hokum larangan menulis Al-Hadits telah dinasakhkan dengan perintah yang membolehkannya. Dengan demikian hokum menulisnya adalah boleh.
2. Bahwa larangan menulis AL-Hadits itu bersifat umum sedangkan perizinannya bersifat khusus, tertentu bagi orang-orang yang mempunyai keahlian tulis menulis sehingga terjaga dari kekeliruan penulisan dan tidak dikhawatirkan akan salah.
3. Bahwa larangan menulis Al-Hadits ditujukan kepada orang yang lebih kuat menghafalnya daripada menulisnya, sedang perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya seperti Abu Syah.

Sistem meriwayatkan Hadits
1. Dengan Lafadz yang asli dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
2. Dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya.
Hal ini disebabkan karena mereka sudah tidak ingat betul pada lafadz aslinya disamping itu dalam penulisan hadits yang dipentingkan adalah dari segi isinya dimana kandungan dan maknanya tidak berubah. Berbeda dengan Al-Qur’an dimana susunan bahasa dan maknanya sedikitpun tidak boleh diubah karena Al-Qur’an merupakan mukjizat dari Allah Ta’ala.
Karena kesibukan para sahabat dalam hal menuliskan dan menyiarkan Al-Qur’an maka perkembangan periwayatan Al-haditspun terlambat, juga pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu Anhu dan Khalifah Umar bin Khattab Radhiallahu Anhu. Hal itu disebabkan anjuran beliau pada para sahabat agar mengutamakan pensyiaran Al-Qur’an. Karena masyarakat pada waktu itu belum sepenuhnya mengenal Al-Qur’an sebagai dasar syariat yang pertama.
Periwayatan Al-Hadits mulai berkembang pada saat pemerintahan khalifah Utsman bin Affan. Para sahabat kecil dan tabiin mulai menaruh perhatian serius dalam mencari dan mengumpulkan Al-Hadits dari para sahabat besar yang jumlahnya kian hari kian berkurang dan telah bertebaran dipelbagai pelosok. Oleh karena itu tidak sedikit dari mereka yang rela merantau guna menggali beberapa hadits dari para sahabat.
Contohnya adalah Abu Ayyub Al-Anshari yang pergi ke Mesir guna menemui sahabat Uqbah bin Amir untuk menanyakan hadits yang berbunyi:
“Barangsiapa yang menutupi kesulitan seorang muslim di dunia, Allah akan menutupi kesulitannya pada hari kiamat.”
Hadits maudlu (palsu) mulai berkembang pada awal berdirinya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Hadits Maudlu adalah ucapan atau buah pikiran seseorang yang didkwakan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
·         * *


B. MENULIS DAN MEMBUKUKAN AL-HADITS SECARA RESMI (Abad II)

1. Perintis dan sejarah (Motif) membukukan Al-Hadits.
Urgensi untuk membukukan Al-Hadits dirintis pertama kali oleh Khalifah Umar bin abdul Aziz (Seorang Khalifah Bani Umayyah yang menjabat khalifah anatara tahun 99—101 H). Adapun motivasinya adalah sebagai berikut:
a. Adanya kekhawatiran akan hilangnya Al-Hadits dari perbendaharaan masyarakat dikarenakan belum dibukukan.
b. Adanya kemauan untuk membersihkan dan memelihara Al-Hadits dari hadits-hadits maudlu (palsu)
c. Hilangnya kekhawatiran bercampur aduknya Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagaimana pada zaman Rasulullah Shllallahu Alaihi wa Sallam dan Khulafaur Rasyidin karena telah banyak orang yang menghafal Al-Qur’an.
Beliau menginstrusikan kepada Walikota Madinah, abu Bakar bin mar bin Hazm ( -117H) untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan Ibnu Syihab Az-Zuhry, seorang Imam dan Ulama besar di Hijaz dan Syam ( …..—124H)

2. Ciri-Ciri Kitab Hadits yang dibukukan pada abad II
Karya ulama abad II ini masih bercampur aduk antara hadits-hadits Rasulullah dan fatwa-fatwa sahabat dan tabiin sehingga belum dapat dibedakan antara hadits yang marfu’, mauquf dan maqthu dan diantara hadits Shahih, hasan dan Dhaif.
Pemuka hadits yang telah mempunyai inisiatif untuk mengklasifikasikan hadits pada masalah yang menjurus adalah Al-Imam Asy-Syafi’iy, yakni masalah talak.

3. Kitab-Kitab Hadits yang masyhur

a. Al-Muwaththa.
Disusun oleh Imam Malik pada tahun 144 H atas anjuran Khalifah Al-Mansur. Jumlahnya lebih kurang 1720 Hadits.As-Suyuthi mensyarahkan kitab tersebut dengan nama Tanwiru’l-Hawalik dan Al-Malik dengan nama Mukhtasharu’l-Khaththaby.
b. Musnadu’sy-Syafi’iy
Disusun oleh Imam Syafi’iy dengan mencantumkan seluruh haditsnya dalam kitab Al-Umm.
c. Mukhtalifu’l-Hadits.
Karya Imam Syafi’iy yang menjelaskan cara-cara menerima hadits sebagai hujjah dan cara mengkompromikan hadits-hadits yang tampaknya kontradiksi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar