Akal Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Walaupun akal bisa digunakan untuk merenungi dan memahami Al
Qur’an, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Bahkan akal sangat membutuhkan
dalil syar’i (Al Qur’an dan Hadits) sebagai penerang jalan. Akal itu ibarat
mata. Mata memang memiliki potensi untuk melihat suatu benda. Namun tanpa
adanya cahaya, mata tidak dapat melihat apa-apa. Apabila ada cahaya, barulah
mata bisa melihat benda dengan jelas.
Jadi itulah akal. Akal barulah bisa berfungsi jika ada
cahaya Al Qur’an dan As Sunnah atau dalil syar’i. Jika tidak ada cahaya wahyu,
akal sangatlah mustahil melihat dan mengetahui sesuatu.
“Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk
beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal.
Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia
memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika
ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur’an barulah akal akan
seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya,
akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” (Majmu’ Al Fatawa,
3/338-339)
Intinya, akal bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki
oleh dalil syar’i yaitu dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini,
akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.
Mungkinkah Akal dan Dalil Syar’i Bertentangan
Jika kita sudah mengetahui bahwa akal tidaklah bisa
berfungsi kecuali dengan adanya penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka
tentu saja akal yang benar tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil syar’i. Jika
bertentangan, maka akal yang patut ditanyakan dan dalil syar’i lah yang patut
dimenangkan. Kami dapat memberikan deskripsi tentang akal dan dalil syar’i
sebagai berikut.
Ada orang awam ingin bertanya suatu hal pada seorang ulama.
Akhirnya dia dibantu oleh Ahmad. Ahmad pun menunjukkan orang awam tadi pada
ulama tersebut. Dalam suatu masalah, Ahmad menyelisihi pendapat ulama tadi.
Lalu Ahmad mengatakan pada orang awam tadi, “Aku yang telah menunjuki engkau
pada ulama tersebut, seharusnya engkau mengambil pendapatku bukan pendapat
ulama tadi.” Tentu saja orang awam tadi akan mengatakan, “Engkau memang
yang telah menunjukiku pada ulama tadi. Engkau menyuruhku untuk mengikuti ulama
tadi, namun bukan untuk mengikuti pendapatmu. Jika aku mengikuti petunjukmu
bahwa ulama tadi adalah tempat untuk bertanya, hal ini bukan berarti aku harus
mencocokimu dalam setiap yang engkau katakan. Jika engkau keliru dan
menyelisihi ulama tadi padahal dia lebih berilmu darimu, maka kekeliruanmu pada
saat ini tidaklah membuat cacat tentang keilmuanmu bahwa dia adalah ulama.”
Ini adalah permisalan dengan seorang ulama yang mungkin saja
salah. Lalu bagaimanakah jika pada posisi ulama tersebut adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang tidak mungkin keliru dalam penyampaian berita dari
Allah?
Dari deskripsi ini, akal dimisalkan dengan si Ahmad yang
jadi petunjuk kepada ulama tadi. Sedangkan ulama tersebut adalah permisalan
dari dalil syar’i. Inilah sikap yang harus kita miliki tatkala kita menemukan
bahwa akal ternyata bertentangan dengan dalil syar’i. Sikap yang benar ketika
itu adalah seseorang mendahulukan dalil syar’i daripada logika. Sebagaimana
kita mendahulukan ulama tadi dari si Ahmad sebagai petunjuk jalan. Jika
dalil syar’i bertentangan dengan akal, maka dalil lah yang harus didahulukan.
Namun hal ini tidak membuat akal itu cacat karena dia telah menunjuki kepada
dalil syar’i.
Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu
jika akal bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah, maka dalil syar’i
lebih harus kita dahulukan dari akal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Jika seseorang mengetahui dengan akalnya bahwa ini adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ada berita dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ternyata berita tersebut menyelisihi akal.
Pada saat ini, akal harus pasrah dan patuh. Akal harus menyelesaikan
perselisihan ini dengan menyerahkan pada orang yang lebih tahu darinya yaitu dari
berita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat ini, akal tidaklah
boleh mendahulukan hasil pemikirannya dari berita Rasul. Karena sebagaimana
diketahui bahwa akal manusia itu memiliki kekurangan dibandingan dengan berita
Rasul. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu saja lebih mengerti mengenai
Allah Ta’ala, nama dan sifat-sifat-Nya, serta lebih mengetahui tentang berita
hari akhir daripada akal.” (Dar-ut Ta’arudh, 1/80)
Akal Tidak Mungkin Bertentangan dengan Dalil Al
Qur’an dan As Sunnah
Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yaitu
dalil akal tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah
yang shahih sama sekali. Maka tidaklah tepat jika seseorang mengatakan
bahwa logika (dalil akal) bertentangan dengan dalil syar’i. Jika
ada yang menyatakan demikian, maka hal ini tidaklah lepas dari beberapa
kemungkinan:
[Pertama]
Itu sebenarnya syubhat (kerancuan) dan bukan logika (dalil akal) yang benar.
[Kedua] Dalil
syar’i yang digunakan bukanlah dalil yang bisa diterima, mungkin karena
dalilnya yang tidak shahih atau adanya salah pemahaman.
[Ketiga] Hal ini
karena tidak mampu membedakan antara sesuatu yang mustahil bagi akal dan
sesuatu yang tidak dipahami oleh akal dengan sempurna. Syari’at itu
datang minimal dengan dalil yang tidak dipahami oleh akal secara sempurna. Dan
Syari’at ini tidak mungkin datang dengan dalil yang dianggap mustahil bagi
akal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَالرُّسُلُ
جَاءَتْ بِمَا يَعْجِزُ الْعَقْلُ عَنْ دَرْكِهِ . لَمْ تَأْتِ بِمَا يُعْلَمُ
بِالْعَقْلِ امْتِنَاعُهُ
“Rasul itu datang dengan wahyu minimal tidak digapai oleh
akal dengan sempurna. Namun beliau tidaklah datang dengan wahyu yang mustahil
bagi akal untuk memahaminya.” (Majmu’ Al Fatawa, 3/339).
Semoga kita dapat memahami hal ini.
Sikap Ekstrim dan Pertengahan dalam Mendudukkan
Akal
Ada dua sikap ekstrim dalam mendudukkan akal.
Sikap pertama:
Yang menjadikan akal sebagai satu-satunya landasan ilmu sedangkan dalil Al
Qur’an atau dalil syar’i hanya sekedar taabi’ (pengikut). Akal pun
dianggap sebagai sumber pertama dan dianggap akal tidak butuh pada iman dan Al
Qur’an. Inilah sikap yang dimiliki oleh Ahlul Kalam.
Sikap kedua:
Yang sangat mencela dan menjelek-jelekan akal, juga menyelisihi dalil logika
yang jelas-jelas tegasnya, serta mencela dalil logika secara mutlak. Inilah
sikap dari kaum Sufiyah. (Majmu’ Al Fatawa, 3/338)
Sikap yang benar dan pertengahan adalah sikap yang
menjadikan akal sebagai berikut:
1. Akal adalah petunjuk
untuk mengetahui dalil syar’i (dalil Al Qur’an dan As Sunnah)
2. Akal tidak bisa berdiri
sendiri namun butuh pada cahaya dalil syar’i. Tanpa adanya cahaya dalil Al
Qur’an dan As Sunnah, akal tidaklah mungkin bisa memandang atau memahami suatu
perkara dengan benar.
3. Jika akal bertentangan
dengan dalil syar’i, maka dalil syar’i yang harus didahulukan karena akal hanya
sekedar petunjuk untuk mengetahui dalil sedangkan dalil syar’i memiliki ilmu
dan pemahaman yang lebih dibanding akal.
4. Akal (logika) yang benar
tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
5. Akal yang tercela
adalah akal yang bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
Mendudukkan Akal dalam Beberapa Kasus
Di antara penggunaan akal yang keliru adalah penggunaannya
dalam memikirkan perkara-perkara ghaib seperti memikirkan sifat-sifat Allah dan
keadaan hari kiamat.
[Contoh pertama]
Hadits tentang nuzul yaitu turunnya Allah ke langit
dunia pada sepertiga malam terakhir.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَنْزِلُ
رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ
يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ
مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kita tabaroka wa ta’ala setiap malamnya turun ke
langit dunia hingga tersisa sepertiga malam terakhir. Rabb mengatakan,
“Barangsiapa yang berdo’a kepadaKu, maka akan Aku kabulkan. Barangsiapa meminta
padaKu, maka akan Aku berikan. Barangsiapa meminta ampun padaKu, Aku akan
mengampuninya”.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)
Sebagian orang menanyakan, “Bagaimana mungkin Allah turun ke
langit dunia? Ini berarti ‘Arsy-Nya kosong. ” Atau mungkin ada yang menyatakan,
“Kalau begitu Allah akan terus turun ke langit dunia karena jika di daerah A
adalah sepertiga malam terakhir, bagian bumi yang lain beberapa saat akan
mengalami sepertiga malam juga. Ini akan berlangsung terus menerus.”
Inilah akal-akalan yang muncul dari sebagian orang.
Jawabannya sebenarnya cukup mudah. Ingatlah dalam masalah ini, kita harus
bersikap pasrah, tunduk dan menerima dalil. Tugas Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam hanyalah menyampaikan wahyu, sedangkan tugas kita adalah menerima secara
lahir dan batin. Kalau kita tidak memahami hal ini, itu mungkin saja logika
atau akal kita yang tidak memahaminya dengan sempurna. Jadi, sama sekali logika
kita tidak bertentangan dengan dalil tersebut. Hanya saja kita kurang sempurna
dalam memahaminya.
Lalu jika ada yang mengemukakan kerancuan di atas, cukup kita
katakan, “Hal semacam ini tidaklah pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Begitu pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah mendapatkan tafsiran
mengenai hal ini. Jadi, dalam masalah menanyakan hakikat (kaifiyah) turunnya
Allah, kita hendaknya stop dan tidak angkat bicara. Kita meyakini dan memahami
adanya sifat nuzul (turunnya Allah ke langit dunia), namun mengenai hakikatnya
kita katakan wallahu a’lam (Allah yang lebih mengetahui).”
Jadi pertanyaan semacam di atas tidak pernah dicontohkan
oleh para sahabat, sehingga dalam hal ini kita seharusnya tidak menanyakannya
pula.
Mungkin yang kita bayangkan tadi: “Bagaimana Allah bisa
turun ke langit dunia? Berarti ‘Arsy-Nya kosong”; yang kita bayangkan
sebenarnya adalah keadaan yang ada pada makhluk. Dan ingatlah bahwa Allah itu
jauh berbeda dengan keadaan makhluk, janganlah kita samakan. Allah Ta’ala
berfirman,
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan
Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 11). Jika
sesuatu tidak mungkin terjadi pada makhluk, maka ini belum tentu tidak bisa
terjadi pada Allah yang Maha Besar.
[Contoh kedua]
Disebutkan dalam suatu hadits bahwa pada hari kiamat nanti
posisi matahari akan begitu dekat dengan manusia.
Dari Al Miqdad bin Al Aswad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
تُدْنَى
الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ
كَمِقْدَارِ مِيلٍ
“Matahari akan didekatkan pada makhluk pada hari kiamat nanti
hingga mencapai jarak sekitar satu mil.” Sulaiman bin ‘Amir, salah seorang
perowi hadits ini mengatakan bahwa dia belum jelas mengenai apa yang dimaksud
dengan satu mil di sini. Boleh jadi satu mil tersebut adalah seperti jarak satu
mil di dunia dan boleh jadi jaraknya adalah satu celak mata. (HR. Muslim no.
7385)
Jadi, intinya matahari ketika itu akan didekatkan dengan
jarak yang begitu dekat.
Ada mungkin yang mengatakan, “Saat ini jika matahari
didekatkan ke bumi dengan jarak satu mil –padahal suhu matahari begitu tinggi
(suhu permukaannya sekitar 6000oC)-, tentu saja bumi akan hangus
terbakar. Lalu apa yang terjadi jika matahari didekatkan ke kepala dengan jarak
yang begitu dekatnya?!”
Dalam hadits riwayat muslim di atas, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan,
فَيَكُونُ
النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِى الْعَرَقِ فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى
كَعْبَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ
إِلَى حَقْوَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا
“Keringat manusia ketika itu sesuai dengan kondisi
amalannya. Ada di antara mereka yang keringatnya sampai di mata kaki. Ada pula
yang keringatnya sampai di paha. Ada yang lain sampai di pinggang. Bahkan ada
yang tenggelam dengan keringatnya.”
Jika kita memperhatikan, hadits ini terasa bertentangan
dengan logika kita. Namun sebenarnya dapat kita katakan, “Kekuatan manusia
ketika hari kiamat berbeda dengan kekuatannya ketika sekarang di dunia. Namun
manusia ketika hari kiamat memiliki kekuatann yang luar biasa. Mungkin saja
jika manusia saat ini berdiam selama 50 hari di bawah terik matahari, tanpa
adanya naungan, tanpa makan dan minum, pasti dia akan mati. Akan tetapi, sangat
jauh berbeda dengan keadaan di dunia. Bahkan di hari kiamat, mereka akan
berdiam selama 50 ribu tahun, tanpa ada naungan, tanpa makan dan minuman.” (Syarh
Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, hal. 370)
Intinya, logika kita tidaklah mungkin bertentangan dengan
akal. Jika bertentangan, maka logika kitalah yang patut dipertanyakan.
Demikian beberapa penjelasan dari kami mengenai cara
mendudukkan akal. Semoga Allah selalu memberi taufik dan hidayah kepada kita
untuk memahami ajaran Al Qur’an dan As Sunnah, juga semoga kita dapat
mendudukkan akal sesuai tempatnya.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Rujukan:
Dar-ut Ta’aarudh Al ‘Aqli wan Naqli, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, Darul Kanuz Al Adabiyah
Riyadh
Ma’alim Ushul Fiqh ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jaizaniy, Dar Ibnul Jauziy
Majmu’ Al Fatawa,
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, Darul Wafa’
Shahih Al Bukhari,
Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, Mawqi’ Wizarotil Awqof
Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Daarul ‘Aqidah
Zaadul Muhajir – Ar Risalah At Tabukiyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Hadits
***
Selesai disusun di Panggang, Gunung Kidul, 4 Rajab 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar