Minggu, 09 Agustus 2015

Sihir dalam Pandangan Islam



Sihir dalam Pandangan Islam Aji Aji
Dunia sihir & perdukunan telah tersebar di tengah-tengah masyarakat, mulai dari masyarakat desa hingga menjamah ke daerah kota. Mulai dari sihir pelet, santet, & “aji-aji” lainnya. Berbagai komentar & cara pandang pun mulai bermunculan terkait masalah tukang sihir & ‘antek-antek’-nya. Sebagai seorang muslim, tidaklah kita memandang sesuatu melainkan dgn kaca mata syariat, terlebih dlm perkara-perkara ghaib, seperti sihir & yang semisalnya. Marilah kita melihat bagaimanakah syariat Islam yang mulia ini memandang dunia sihir & ‘antek-antek’-nya.
Makna Sihir

Sihir dlm bahasa Arab tersusun dari huruf ر, ح, س (siin, kha, & ra), yang secara bahasa bermakna segala sesuatu yang sebabnya nampak samar.[1] Oleh karenanya kita mengenal istilah ‘waktu sahur’ yang memiliki akar kata yang sama, yaitu siin, kha & ra, yang artinya waktu ketika segala sesuatu nampak samar & “remang-remang”.[2]
Seorang pakar bahasa, Al Azhari mengatakan, “Akar kata sihir maknanya adalah memalingkan sesuatu dari hakikatnya. Maka ketika ada seorang menampakkan keburukan dgn tampilan kebaikan & menampilkan sesuatu dlm tampilan yang tak senyatanya maka dikatakan dia telah menyihir sesuatu”.[3]
Para ulama memiliki pendapat yang beraneka ragam dlm memaknai kata ‘sihir’ secara istilah. Sebagian ulama mengatakan bahwa sihir adalah benar-benar terjadi ‘riil’, & memiliki hakikat. Artinya, sihir memiliki pengaruh yang benar-benar terjadi & dirasakan oleh orang yang terkena sihir. Ibnul Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sihir adalah jampi atau mantra yang memberikan pengaruh baik secara zhohir maupun batin, semisal membuat orang lain menjadi sakit, atau bahkan membunuhnya, memisahkan pasangan suami istri, atau membuat istri orang lain mencintai dirinya (pelet-pent)”.[4]
Namun ada ulama lain yang menjelaskan bahwa sihir hanyalah pengelabuan & tipuan mata semata, tanpa ada hakikatnya. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakr Ar Rozi, “(Sihir) adalah segala sesuatu yang sebabnya samar & bersifat mengalabui, tanpa adanya hakikat, & terjadi sebagaimana muslihat & tipu daya semata.”[5]
Sebenarnya Adakah Sihir Itu?
Sebagaimana yang disinggung di depan, bahwa terdapat persilangan pendapat tentang kebenaran hakikat sihir. ‘Apakah sihir hakiki?’, ‘Apakah orang yang terkena sihir, benar-benar merasakan pengaruhnya?’, ‘Atau kah sihir hanya sebatas tipuan mata & tipu muslihat semata?’
Abu Abdillah Ar Rozi rahimahullah dlm tafsirnya menjelaskan “Kelompok Mu’tazilah (kelompok sesat-pent) mengingkari adanya sihir dlm aqidah mereka. Bahkan mereka tak segan-segan mengkafirkan orang yang meyakini kebenaran sihir. Adapun ahli sunnah wal jama’ah, meyakini bahwa mungkin saja ada orang yang bisa terbang di angkasa, bisa merubah manusia menjadi keledai, atau sebaliknya. Akan tetapi meskipun demikian ahli sunnah meyakini bahwa segala kejadian tersebut atas izin & taqdir dari Allah ta’ala”. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka itu (para tukang sihir) tak akan memberikan bahaya kepada seorang pun melainkan dgn izin dari Allah” (QS. Al Baqarah : 102)
Al Qurthubi rahimahullahu mengatakan, “Menurut ahli sunnah wal jama’ah, sihir  itu memang ada & memiliki hakikat, & Allah Maha Menciptakan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya, keyakinan yang demikian ini berbeda dgn keyakinan kelompok Mu’tazilah.”[6]
Inilah keyakinan yang benar, insya Allah. Banyak sekali kejadian, baik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pun masa-masa setelahnya yang menunjukkan secara kasat mata bahwa sihir memiliki hakikat & pengaruh. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir oleh Lubaid bin Al A’shom Al Yahudi hingga beliau jatuh sakit? Kemudian karenanya Allah ta’ala menurunkan surat al Falaq & surat An Naas (al mu’awidaztain) sebagai obat bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[7] Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa sihir memiliki hakikat & pengaruh terhadap orang yang terkena sihir.
Namun tidaklah dipungkiri, bahwa ada jenis-jenis sihir yang tak memiliki hakikat, yaitu sihir yang hanya sebatas pengelabuan mata, tipu muslihat, “sulapan”, & yang lainnya. Jenis-jenis sihir yang demikian inilah yang dimaksudkan oleh perkataan beberapa ulama yang mengatakan bahwa sihir tidaklah memiliki hakikat, Allahu A’laam.[8]
Hukum “Main-Main” dgn Sihir
Sihir termasuk dosa besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah dari kalian tujuh perkara yang membinasakan!” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Apakah tujuh perkara tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “[1]menyekutukan Allah, [2]sihir, [3]membunuh seorang yang Allah haramkan utk dibunuh, kecuali dgn alasan yang dibenarkan syariat, [4]mengkonsumsi riba, [5]memakan harta anak yatim, [6]kabur ketika di medan perang, & [7]menuduh perempuan baik-baik dgn tuduhan zina” (HR. Bukhari & Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)
Kafirkah Tukang Sihir?
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Nabi Sulaiman tidaklah kafir, akan tetapi para syaitan lah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia” (Al Baqarah : 102)
Imam Adz Dzahabi rahimahullah berdalil dgn ayat di atas utk menegaskan bahwa orang yang mempraktekkan ilmu sihir, maka dia telah kafir. Karena tidaklah para syaitan mengajarkan sihir kepada manusia melainkan dgn tujuan agar manusia menyekutukan Allah ta’ala.[9]
Syaikh As Sa’diy rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu sihir dapat dikategorikan sebagai kesyirikan dari dua sisi.
[Pertama] orang yang mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang meminta bantuan kepada para syaitan dari kalangan jin utk melancarkan aksinya, & betapa banyak orang yang terikat kontrak perjanjian dgn para syaitan tersebut akhirnya menyandarkan hati kepada mereka, mencintai mereka, ber-taqarrub kepada mereka, atau bahkan sampai rela memenuhi keinginan-keinginan mereka.
[Kedua] orang yang mempelajari & mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib. Dia telah berbuat kesyirikan kepada Allah dlm pengakuannya tersebut (syirik dlm rububiyah Allah), karena tak ada yang mengetahui perkara ghaib melainkan hanya Allah ta’ala semata.[10]
Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah merinci bahwa orang yang mempraktekkan sihir, bisa jadi orang tersebut kafir, keluar dari Islam, & bisa jadi orang tersebut tak kafir meskipun dgn perbuatannya tersebut dia telah melakukan dosa besar.
[Pertama] Tukang sihir yang mempraktekkan sihir dgn memperkerjakan tentara-tentara syaitan, yang pada akhirnya orang tersebut bergantung kepada syaitan, ber-taqarrub kepada mereka atau bahkan sampai menyembah mereka. Maka yang demikian tak diragukan tentang kafirnya perbuatan semacam ini.
[Kedua] Adapun orang yang mempraktekkan sihir tanpa bantuan syaitan, melainkan dgn obat-obatan berupa tanaman ataupun zat kimia, maka sihir yang semacam ini tak dikategorikan sebagai kekafiran.[11]
Hukuman Bagi Tukang Sihir
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika, di akhir kekhalifahan beliau, mengirimkan surat kepada para gubernur, sebagaimana yang dikatakan oleh Bajalah bin ‘Abadah radhiyallahu ‘anhu, “Umar bin Khattab menulis surat (yang berbunyi): ‘Hendaklah kalian (para pemerintah gubernur) membunuh para tukang sihir, baik laki-laki ataupun perempuan’”.[12]
Dalam kisah Umar radhiyallahu ‘anhu di atas memberikan pelajaran bagi kita, bahwa hukuman bagi tukang sihir & ‘antek-antek’-nya adalah hukuman mati. Terlebih lagi terdapat sebuah riwayat, meskipun riwayat tersebut diperselisihkan oleh para ulama tentang status ke-shahihan-nya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal dgn pedang”[13]
Dalam kisah Umar di atas pun juga memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa menjadi kewajiban pemerintah tatkala melihat benih-benih kekufuran, hendaklah pemerintah menjadi barisan nomor satu dlm memerangi kekufuran tersebut & memperingatkan masyarakat tentang bahayanya kekufuran tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Allahu A’laam.
Bolehkah Mengobati Sihir dgn Sihir?[14]
Inilah yang mungkin menjadi kerancuan di benak masyarakat, yang kemudian kerancuan ini menjadikan mereka membolehkan belajar sihir, karena alasan “keadaan darurat”. Terlebih lagi tatkala sihir yang digunakan utk mengobati sihir terkadang terbukti manjur & mujarab. Bukankah segala sesuatu yang haram pada saat keadaan darurat, akan menjadi mubah? Bukankah ketika di tengah hutan, tak ada bahan makan, bangkai pun menjadi boleh kita makan?
Saudaraku, memang syariat membolehkan perkara yang haram tatkala keadaan darurat, sampai-sampai para ulama membuat sebuah kaidah fiqhiyah, “Keadaan yang darurat dapat merubah hukum larangan menjadi mubah”
Namun kita pelu cermati bahwa para ulama pun juga memberikan catatan kaki terhadap kaidah yang agung ini. Terdapat sedikitnya dua syarat yang harus dipenuhi utk mengamalkan kaidah ini.
[Pertama] Tidak ada obat lain yang dapat menyembuhkan sihir, selain dgn sihir yang semisal. Pada kenyataannya tidaklah terpenuhi syarat pertama ini. Syariat telah memberikan obat & jalan keluar yang lebih syar’i utk menangkal & mengobati gangguan sihir. Bukankah syari’at telah menjadikan Al Quran sebagai obat, lah ada & teruqyah-ruqyah syar’i yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[Kedua] Sihir yang digunakan harus terbukti secara pasti dapat menyembuhkan & menghilangkan sihir. Dan setiap dari kita tidaklah ada yang dapat memastikan hal ini, karena semua hal tersebut adalah perkara yang ghaib. [15]
Maka dgn ini jelaslah bahwa mempelajari sihir, apapun alasannya adalah terlarang, bahkan diancam dgn kekufuran, Allah ta’ala telah tegaskan di dlm firmannya (yang artinya), ”Dan tukang sihir itu tidaklah menang, dari mana pun datangnya.” (QS. Ath Thaahaa: 69). Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata dlm tafsirnya, “Ayat ini mencakup umum, segala macam kemenangan & keberuntungan akan ditiadakan dari para tukang sihir, terlebih lagi Allah tekankan dgn firman-Nya, ‘dari mana pun datangnya’. Dan secara umum, tidaklah Allah meniadakan kemenangan dari seseorang, melainkan dari orang kafir.”[16]
Washallallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala Aalihi wa Ashahabihi wa sallam.
Penulis: Hanif Nur Fauzi
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Lisanul ‘Arab, Ibnul Mandzur, Asy Syamilah
[2] Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Cet. Dar Ibnul Jauzy, jilid 1, hal. 489.
[3] Dikutip dari Haqiqatus Sihri wa Hukmuhu fil Kitabi was Sunnah, Syaikh Dr. ‘Iwaad bin Abdillah Al Mu’tiq
[4] Al Kaafi fi Fiqh Al Imam Ahmad, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Asy Syamilah
[5] Dikutip dari Haqiqatus Sihri wa Hukmuhu fil Kitabi was Sunnah, Syaikh Dr. ‘Iwaad bin Abdillah Al Mu’tiq
[6] Dikutip dari Tafsir Ibnu Tafsir, Asy Syamilah
[7] Tafsir Ibnu Katsir, Asy Syamilah
[8] Lihat Haqiqatus Sihri wa Hukmuhu fil Kitabi was Sunnah, Syaikh Dr. ‘Iwaad bin Abdillah Al Mu’tiq
[9] Syarah Al Kabaair Lil Imam Adz Dzahabi, Ibnu ‘Utsaimin, Cet. Dar Al Kutub ‘Ilmiyah, hal. 20
[10] Al Qoulu As Sadiid, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy, Cet. Dar Al Qobsi, hal. 182
[11] Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Cet. Dar Ibnul Jauzy, Jilid 1, hal. 490
[12] Hadits dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[13] Hadits diriwayatkan oleh Tirmidzi, Hakim, & lain-lain. Adz Dzahabi mengatakan bahwa hadits ini shahih ghorib sebagaimana ta’liq Adz Dzahabi dlm At Talkhish. Sedangkan Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah) sebagaimana disebutkan dlm Dho’iful Jaami’ no. 2699. (ed)
[14] Penjelasan tentang sub judul ini kami ringkaskan dari penjelasan Syaikh Abdul Aziiz bin Muhammad As Sa’iid, dlm artikel beliau berjudul “Hukmu Hilli Sihri ‘anil Mashuuri bi Sihri Mitslihi”, lihat  www.al-sunna.net/articles/file.php?id=112
[15] Lihat penjelasan tentang syarat kaidah ini dlm Mandzumah Ushul Fiqh, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 77
[16] Lihat Ad waa’ul Bayan, Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, Asy Syamilah
sumber: www.muslim.or.id tags: Aji Aji, Syariat Islam, Kaca Mata, Waktu Sahur, Bahasa Arab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar