Sabtu, 08 Agustus 2015

Indahnya Islam, Manisnya Iman

Indahnya Islam, Manisnya Iman[1]
 Ustadz Abdullah bin Taslim, MA


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد:
Judul tulisan ini mungkin sudah terlalu sering kita dengar, tapi kemungkinan besar sedikit sekali di antara kita (termasuk penulis sendiri) yang benar-benar telah merasakan hakikatnya.
Seandainya kita mau jujur pada diri kita sendiri, sampai saat ini sudah berapa lama kita menjadi seorang muslim? sudah berapa banyak amal ibadah yang kita kerjakan? akan tetapi pernahkah kita merasakan kenikmatan dan kemanisan yang hakiki sewaktu kita melaksanakan ibadah tersebut?
Maka kalau hakikat ini belum kita rasakan, berarti ada sesuatu yang kurang dalam iman kita, ada sesuatu yang perlu dikoreksi dalam keislaman kita. Karena manisnya iman dan indahnya Islam itu bukan sekedar teori belaka, tapi benar-benar merupakan kenyataan hakiki yang dirasakan oleh orang yang memiliki keimanan dan ketaatan yang kuat kepada Allah عزّوجلّ, yang wujudnya berupa kebahagian dan ketenangan hidup di dunia, serta perasaan gembira dan senang ketika beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah عزّوجلّ.
Dan ini merupakan balasan kebaikan yang Allah عزّوجلّ segerakan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan taat kepada-Nya di dunia, sebelum nantinya di akhirat mereka akan mendapatkan balasan yang lebih baik dan sempurna. Hal ini Allah عزّوجلّ sebutkan dalam banyak ayat Al-Qur’an, diantaranya:
Ayat pertama:
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan ” (QS. An Nahl:97).
Ayat kedua:   
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ، الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
"Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan berikan kepada mereka (balasan) kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui. (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Rabb saja mereka bertawakkal" (QS. An Nahl:41-42).
Ayat ketiga:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ
"Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)" (QS. Huud:3).

Ayat keempat:
قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
"Katakanlah:"Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Rabbmu".Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan.Dan bumi Allah itu adalah luas.Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahala bagi mereka dengan tanpa batas (di akhirat)" (QS. Az Zumar:10).
 Dalam mengomentari keempat ayat di atas, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah –semoga Allah merahmatinya– berkata: "Dalam keempat ayat ini Allah عزّوجلّ menyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat .”
 Kemudian kalau kita mengamati dengan seksama ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah صلي الله عليه وسلم yang mensifati dan menggambarkan ajaran agama islam ini, kita akan dapati bukti yang menunjukkan bahwa agama islam ini Allah عزّوجلّ turunkan kepada manusia sebagai sumber kebahagian hidup yang hakiki dan ketenangan lahir dan batin bagi orang-orang yang memahami dan mengamalkannya dengan baik dan benar.
Di antara ayat-ayat Al-Qur’an tersebut adalah firman Allah عزّوجلّ:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
"Dan Kami turunkan kepadamu kitab ini (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri" (QS. An Nahl:89).
Juga firman Allah عزّوجلّ:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu (dalam Al-Qur’an) pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman" (QS. Yunus:57).
Dalam ayat lain Allah عزّوجلّ menegaskan bahwa Dia عزّوجلّ tidaklah menjadikan agama islam ini sebagai beban yang memberatkan dan menyulitkan manusia, Allah عزّوجلّ berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu" (Al Baqarah:185).
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
"Allah tidak menghendaki untuk menjadikan kesempitan bagi kamu" (Al Maaidah:6).
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan bagi kamu dalam agama ini suatu kesempitan" (Al Hajj:78).
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat-ayat di atas.
Demikian pula kita dapati hadits-hadits Rasulullah صلي الله عليه وسلم mensifati agama islam ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas. Misalanya, dalam beberapa hadits yang shahih Rasulullah صلي الله عليه وسلم mensifati iman yang sempurna sebagai sesuatu yang manis dan lezat, sebagaimana yang beliau صلي الله عليه وسلم sabdakan dalam hadits shahih riwayat Imam Al Bukhari (1/14) dan Imam Muslim (1/66):
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بـِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيـمَانِ.....
"Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya, maka dia akan merasakan manisnya iman…"
Juga dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim (1/62), beliau صلي الله عليه وسلم bersabda:
ذَاقَ طَعْمَ الْإِيـمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِـمُحَمَّدٍ رَسُولًا
"Akan merasakan kelezatan iman, orang yang ridha Allah عزّوجلّ sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta Muhammad صلي الله عليه وسلم sebagai rasulnya".
Berkata Imam An Nawawi –semoga Allah عزّوجلّ merahmatinya– ketika menjelaskan hadits di atas: "Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah عزّوجلّ, tidak menempuh selain jalan agama islam & tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh Rasulullah صلي الله عليه وسلم), maka tidak diragukan lagi bahwa yang memiliki sifat ini niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya, sehingga ia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut" .
Sebagaimana kemanisan dan kelezatan iman ini dirasakan langsung oleh Rasulullah صلي الله عليه وسلم, sehingga beliau صلي الله عليه وسلم menggambarkan ibadah shalat sebagai sumber kesejukan dan kesenangan hati, dalam sabda beliau صلي الله عليه وسلم:
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
"Dan Allah menjadikan qurratul 'ain bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat" (HR. Ahmad 3/128, An Nasa-i 7/61 dll dari Anas bin Malik رضي الله عنه, dan dishahihkan oleh syaikh Al Albani dalam "Shahihul jaami'" 1/544).
Makna qurratul 'ain adalah sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan hati. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud (2/715) dan Ahmad (5/364) dan dishahihkan oleh syaikh Al Albani, Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda kepada Bilal رضي الله عنه:
"Wahai Bilal, senangkanlah (hati) kami dengan (melaksanakan) shalat".
Demikian pula para shahabat ? dan para ulama ahlus sunnah yang mengikuti petunjuk mereka juga merasakan kemanisan iman ini dalam diri mereka, sebagaimana yang Allah عزّوجلّ gambarkan dalam Al-Qur’an tentang kesempurnaan iman para shahabat رضي الله عنهم dalam firman-Nya:
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
"Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus" (QS. Al Hujuraat:7).
Dan dalam hadits shahih riwayat Al Bukhari (1/7) tentang kisah dialog antara Abu Sufyan رضي الله عنه dan raja Romawi Hiraql, di antara pertanyaan yang diajukan oleh Hiraql kepada Abu Sufyan: Apakah ada diantara pengikut (sahabat) Nabi itu (Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم) yang meninggalkan agamanya karena dia membenci agama tersebut setelah dia memeluknya? Maka Abu Sufyan menjawab: Tidak ada. Kemudian Hiraql berkata: Memang demikian (keadaan) iman ketika kemanisan iman itu telah masuk dan menyatu dalam hati manusia.
Kemudian atsar dari para ulama ahlus sunnah yang menunjukkan hal ini banyak sekali, di antaranya sebuah atsar yang sering dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah عزّوجلّ merahmatinya – dalam beberapa kitab beliau, seperti "Miftahu daaris sa'aadah", "Al Waabilush shoyyib" dan "Ad Daa-u wad dawaa'", yaitu ucapan salah seorang ulama: "Seandainya para raja dan pangeran mengetahui (kenikmatan hidup) yang kami rasakan (karena memahami dan mengamalkan agama Allah عزّوجلّ, niscaya mereka akan berusaha merebut kenikmatan tersebut dari kami dengan pedang-pedang mereka".
Juga ucapan yang masyhur dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah عزّوجلّ merahmatinya – yang dinukil oleh murid beliau Ibnul Qayyim dalam kitabnya "Al Waabilush shoyyib" (1/69), Ibnu Taimiyyah berkata: "Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini, maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti". Makna "surga di dunia" ini adalah kecintaan (yang utuh) dan ma'rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allah عزّوجلّ, (dengan memahami nama-nama dan sifat-sifatNya dengan baik dan benar) serta selalu berzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan (mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan Allah عزّوجلّ satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya, yang sekaligus merupakan qurratul 'ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-orang yang mencintai dan mengenal Allah عزّوجلّ .
Bahkan dalam kitab "Al Waabilush shoyyib" ini, Ibnul Qayyim رحمه الله menyebutkan kisah nyata gambaran kenikmatan hidup yang dialami guru beliau, Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah – ولا أزكي على الله أحدا –, yang kenikmatan ini justru semakin nampak pada diri beliau sewaktu beliau sedang mengalami siksaan yang berat dan celaan dari musuh-musuh beliau, karena membela  dan mendakwahkan aqidah ahlus sunnah wal jama'ah. Ibnul Qayyim berkata: "Dan Allah عزّوجلّ yang maha mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau (Ibnu Taimiyyah), padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan, ditambah lagi dengan  siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah عزّوجلّ berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau). Tapi bersamaan dengan itu semua, aku mendapati beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling tenang jiwanya, terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau rasakan). Bahkan kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk, atau ketika merasakan kesempitan hidup, kami segara mendatangi beliau untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang" .
Setelah kita merenungkan dan menghayati dalil-dalil dari Al Qur'an, As Sunnah dan keterangan dari para ulama di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup yang hakiki hanyalah dirasakan oleh orang yang mengisi hidupnya dengan keimanan dan ketaatan kepada Allah عزّوجلّ. Sebagaimana sebaliknya, orang yang berpaling dari keimanan dan ketaatan kepada Allah عزّوجلّ, maka dia pasti akan merasakan kesengsaraan dan kesempitan hidup di dunia, sebelum nantinya di akhirat dia mendapatkan azab yang sangat pedih. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
"Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sengsara (di dunia), dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta" (QS. Thaaha:124).
Dan dengan ini juga kita mengetahui salahnya penilaian kebanyakan orang jahil, bahwa orang yang beriman dan bertakwa itu akan sengsara dan menderita hidupnya di dunia, karena mereka menyangka bahwa kebahagiaan itu diukur dengan banyaknya harta dan kemewahan dunia yang dimiliki seseorang. Penilaian semacam ini tidak lebih dari penilaian orang-orang yang dicela oleh Allah عزّوجلّ dalam firman-Nya:
يَعْلَمُونَ ظَاهِراً مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
"Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai" (QS. Ar Ruum:7).
Adapun ujian dan cobaan yang mesti dialami oleh orang yang beriman dan bertakwa di dunia ini dalam mempertahankan keimanan mereka, seperti yang disebutkan dalam banyak hadits-hadits yang shahih, diantaranya sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم: "Orang yang paling banyak mendapatkan ujian ataupun cobaan (di jalan Allah عزّوجلّ adalah para Nabi kemudian orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan), kemudian orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan). (Setiap) orang akan diuji sesuai dengan (kuat/lemahnya) agama (iman)nya, kalau agamanya kuat maka ujiannya pun akan (makin) besar, kalau agamanya lemah maka dia akan diuji sesuai dengan (kelemahan) agamanya. Dan ujian itu akan terus-menerus ditimpakan kepada seorang hamba, hingga (akhirnya) hamba tersebut berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya dosa (sedikitpun)" (HR. Ahmad 6/369, Ad Daarimi 2/412, Ibnu Hibban 7/160, Al Hakim 1/99 dll, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam "Shahiihul jaami' " 1/100).
Apa yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan keterangan yang kami sampaikan di atas, karena kalau kita renungkan hikmah-hikmah yang agung dari ujian dan cobaan tersebut, kita dapati bahwa semua itu justru memberikan kebaikan dan manfaat yang besar bagi orang-orang yang beriman dalam menambah keimanan dan semakin mendekatkan diri mereka kepada Allah عزّوجلّ, karena di antara hikmah-hikmah tersebut adalah: Allah عزّوجلّ menjadikan cobaan tersebut untuk membersihkan dan menghapuskan dosa-dosa hamba-Nya yang beriman (seperti yang diisyaratkan dalam hadits di atas), juga untuk semakin menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan mereka kepada Allah عزّوجلّ. (dan masih banyak hikmah-hikmah yang lain, untuk lebih lengkapnya silahkan baca hikmah-hikmah ujian yang diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim رحمه الله dalam kitab beliau "Igatsatul lahfaan min mashôyidisy syaithôn" (2/187-195).
     Kemudian, dari penjelasan di atas timbul satu pertanyaan, yang kemungkinan juga ada di benak kita: kalau memang iman itu hakikatnya manis dan islam itu hakikatnya indah, mengapa kebanyakan dari kita belum merasakan hal itu ketika melakukan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah عزّوجلّ, terlebih lagi ibadah-ibadah yang dianggap berat oleh kebanyakan orang, seperti shalat malam, puasa sunnah, bersedekah dan lainnya? Mengapa kebanyakan dari kita masih merasakan berat dan susah ketika melaksanakan ibadah-ibadah tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami akan mengemukakan satu contoh agar kita mudah memahami masalah ini. Kalau misalnya kita membayangkan suatu makanan yang kita anggap paling enak dan lezat, yang rasa enak dan lezatnya makanan ini disepakati oleh semua orang yang sehat dan berakal, misalanya saja: sate atau gulai kambing muda (atau makanan apa saja yang dianggap paling enak dan lezat), seandainya makanan ini kita hidangkan dihadapan seorang yang sedang sakit demam atau sariawan, atau minimal kurang enak badan, kira-kira apa yang akan dilakukannya terhadap makanan tersebut? Apakah dia akan menyantapnya sampai habis seperti kalau makanan tersebut kita hidangkan di hadapan orang yang sehat?
Jawabnya tentu saja tidak, karena sebagian dari organ tubuhnya kurang sehat dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka dia tidak bisa merasakan enak dan lezatnya makanan tersebut. Dalam hal ini tentu saja yang kita permasalahkan dan perlu diperbaiki adalah kondisi orangnya dan bukan makanan tersebut. Demikian pula hal ini berlaku pada ibadah-ibadah yang Allah عزّوجلّ syariatkan kepada kaum muslimin, kenikmatan dan kelezatan ibadah-ibadah tersebut hanya akan dirasakan oleh orang yang benar-benar sehat dan sempurna keimanannya. Adapun orang yang kurang sehat imannya karena masih ada penyakit dalam hatinya, maka diapun belum bisa merasakan kenikmatan dan kemanisan tersebut, dan dalam hal ini berarti yang kurang dan perlu diperbaiki adalah hati dan keimanan orang tersebut bukan ibadah-ibadah itu sendiri.
Oleh karena itu yang harus dilakukannya adalah berusaha keras dan berjuang untuk menyembuhkan dan menghilangkan penyakit tersebut, dengan cara memaksa diri untuk melakukan terapi untuk mengobati penyakit hati/iman tersebut.  Terapi ini telah dijelaskan oleh para ulama berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم, dan insya Allah عزّوجلّ akan kami sebutkan ringkasannya –, agar nantinya setelah penyakit hati tersebut sembuh dan imannya telah sehat, barulah dia akan merasakan kenikmatan dan kemanisan ketika beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah عزّوجلّ.
Adapun  terapi untuk mengobati penyakit hati/iman tersebut, maka ini telah dijelaskan secara lengkap dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم, karena itulah Allah عزّوجلّ mensifati kitab-Nya Al-Qur’an sebagai syifa (obat/penyembuh) dalam firman-Nya:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَاراً
"Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian" (QS. Al Israa':82).
Juga dalam ayat lain Allah عزّوجلّ berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu (dalam Al-Qur’an) pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada (hati) serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman" (QS. Yuunus:57).
Kemudian dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah صلي الله عليه وسلم menggambarkan bahwa petunjuk yang beliau bawa dari Allah عزّوجلّ berfungsi untuk menghidupkan dan menyembuhkan penyakit hati manusia, sebagaimana hujan yang Allah عزّوجلّ turunkan ke bumi untuk menghidupkan dan menumbuhkan tanah yang gersang dan tandus. Dari Abu Musa Al Asy'ari رضي الله عنه, bahwa Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda: "Sesungguhnya perumpamaan dari petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan (yang baik) yang (Allah عزّوجلّ turunkan ke bumi…" (HSR Al Bukhari 1/42 dan Muslim 4/1787).
Maka untuk membersihkan dan mensucikan jiwa serta mengobati penyakit hati, caranya tidak lain adalah dengan mengamalkan petunjuk dan syariat Allah عزّوجلّ dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم lahir dan batin, bukan dengan cara-cara bid'ah (yang diada-adakan) dan ditetapkan oleh orang/kelompok tertentu yang hanya berdasarkan mimpi, khayalan, bisikan jiwa, akal atau perasaan dan sama sekali tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم. Sebagaimana cara-cara dan wirid-wirid bid'ah yang dibuat-buat oleh kelompok-kelompok tarekat sufiyah dan lainnya,  karena syariat Islam ini adalah syariat yang lengkap dan sempurna, yang menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin dalam urusan agama mereka, terlebih lagi masalah yang penting seperti masalah pensucian jiwa dan pengobatan penyakit hati ini.
Untuk lebih jelasnya pembahasan masalah ini, silahkan merujuk keterangan para ulama ahlus sunnah dalam masalah ini, seperti Ibnul Qayyim dalam beberapa kitab beliau, misalnya kitab "Ighôtsatul lahfân", "Ad Da-u wad dawâ' ", "Miftâhu dâris sa'âdah", "Al wâbilush shoyyib" dll. Begitu juga Syaikh Salîm Al Hilâli telah menulis kitab khusus untuk menjelaskan masalah penting ini dengan judul "Manhâjul anbiyâ' fî tazkiyatin nufûs".
Kemudian secara ringkas, berdasarkan pengamatan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah صلي الله عليه وسلم, Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa terapi untuk menyembuhkan penyakit hati tersimpul dalam tiga macam cara penyembuhan, yang beliu istilahkan dengan "madârush shihhah" (ruang lingkup penyembuhan), dan ketiga macam cara inilah yang  diterapkan oleh para dokter dalam mengobati pasien mereka. Tiga macam cara penyembuhan tersebut adalah:
1.     Hifzhul Quwwah (memelihara kekuatan dan kondisi hati), yaitu dengan memperbanyak melakukan ibadah dan amal shaleh untuk meningkatkan keimanan, seperti mambaca Al-Qur’an dengan menghayati kandungan maknanya, berdzikir, mempelajari ilmu agama yang bermanfaat, utamanya ilmu tauhid, dan lain-lain.
2.     Al Himyatu 'Anil Mu'dzi (menjaga hati dari penyakit-penyakit lain), yaitu dengan cara menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa, maksiat dan penyimpangan-penyimpangan syariat lainnya, karena perbuatan-perbuatan tersebut akan semakin memperparah dan menambah penyakit hati.
3.     Istifragul Mawaaddil Faasidah (menghilangkan/membersihkan bekas-bekas jelek/noda-noda hitam dalam hati yang merusak, sebagai akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan), yaitu dengan cara beristigfar (meminta ampunan) dan bertaubat dengan taubat yang nashuh (ikhlas dan bersungguh-sungguh) kepada Allah عزّوجلّ .
Dan tentu saja selama proses penyembuhan penyakit hati ini, seorang muslim membutuhkan kesungguhan dan usaha keras untuk menundukkan dan memaksa hawa nafsunya agar bisa melaksanakan cara-cara penyambuhan di atas, artinya sebelum dia mencapai kesempurnaan iman, yang dengan itu dia akan merasakan kemanisan dan kelezatan iman, di awal perjalanan menempuh jalan Allah عزّوجلّ ini, dia mesti merasakan kepahitan dan kesusahan terlebih dahulu dalam proses penyembuhan penyakit hati/imannya, dan dia harus berusaha keras dan berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mengamalkan cara-cara penyembuhan tersebut agar proses penyembuhan penyakit hati tersebut berlangsung dengan baik dan sempurna. Sebagaimana orang sakit yang tidak bisa merasakan nikmatnya makanan lezat, kalau dia benar-benar ingin sembuh, maka dia harus berusaha dan memaksa dirinya untuk meminum obat yang rasanya pahit dan getir secara teratur, dan mengkonsumsi makanan yang bergizi untuk menjaga kondisinya, meskipun makanan tersebut terasa pahit di lidahnya dan susah ditelan misalnya. Proses inilah yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم:
حُجِبَتْ وَحُجِبَتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُجِبَتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
"Jannah (surga) itu dikelilingi (ditutupi) dengan perkara-perkara yang susah dan tidak disenangi oleh nafsu manusia, sedangkan neraka itu dikelilingi dengan perkara-perkara yang disenangi oleh nafsu syahwat manusia" (HR. Al Bukhari 5/2379 dan Muslim 4/2174 dari Abu Hurairah رضي الله عنه).
Yang perlu diingat dan dicamkan di sini, bahwa rasa berat dan kesusahan ini hanyalah dirasakan diawal/permulaan menempuh jalan mencapai ridha Allah عزّوجلّ, yaitu selama proses penyembuhan dan pengobatan penyakit hati berlangsung, karena hal ini memang Allah عزّوجلّ jadikan untuk menguji kesungguhan dan kesabaran seorang hamba dalam berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan-Nya, yang kemudian setelah Allah عزّوجلّ mengetahui kesungguhan dan kesabaran hamba tersebut, barulah setelah itu Allah عزّوجلّ memberikan taufik dan hidayahnya kepada hamba tersebut, dengan menghilangkan penyakit hatinya dan menganugrahkan kesempurnaan dan kemanisan iman kepadanya.
Dan hidayah yang Allah عزّوجلّ berikan tersebut tergantung dari besar/kecilnya kesabaran dan kesungguhan seorang hamba dalam menempuh jalan Allah عزّوجلّ ini. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
"Dan orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh (dalam menundukkan hawa nafsu) untuk (mencari keridhaan) Kami, maka benar-benar akan Kami berikan hidayah kepada mereka (dalam menempuh) jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik" (QS. Al 'Ankabuut:69).
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah ketika mengomentari ayat di atas berkata: "(Dalam ayat ini) Allah عزّوجلّ menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan (manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah  dari Allah عزّوجلّ adalah orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya" .
Rasulullah صلي الله عليه وسلم juga mengisyaratkan makna ayat di atas dalam sabda beliau صلي الله عليه وسلم: "orang yang berjihad (berjuang) dengan sebenarnya adalah orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menundukkan hawa nafsunya di jalan Allah عزّوجلّ " (HR. Ahmad 6/21,22, Ibnu Hibban 11/203 dll, dishahihkn oleh syaikh Al Albani dalam "Shahihul jaami' " 1/201 dan 1/1163). 
Imam Ibnul Qayyim ketika menjelaskan proses pencapaian kebahagian yang hakiki dan kemanisan iman yang diawali dengan kesusahan dan kepahitan, berkata: "…Kebahagian (dan kemanisan iman) ini, meskipun pada mulanya tidak lepas dari berbagai macam kesusahan, penderitaan dan perkara-perkara yang tidak disenangi, (tapi pada akhirnya nanti) akan membawanya kepada taman-taman yang indah, tempat yang penuh kebahagiaan dan kedudukan yang mulia…" .
Beliau juga berkata: "Kalaulah bukan karena kejahilan (ketidaktahuan) mayoritas manusia akan kemanisan dan kelezatan iman, serta agungnya kedudukan ini, maka pasti mereka akan saling perang memperebutkan hal tersebut dengan pedang-pedang mereka, akan tetapi memang Allah عزّوجلّ menghijabi (menutupi) kemanisan iman tersebut dengan perkara-perkara yang tidak disukai oleh nafsu manusia, sebagaimana mayoritas manusia juga dihalangi untuk merasakan kemanisan iman tersebut dengan hijab kejahilan, dengan tujuan agar Allah عزّوجلّ memilih dan mengkhususkan siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya untuk mencapai kedudukan ini dan merasakan kemanisan iman, dan Allah عزّوجلّ maha memiliki karunia yang agung" .   
Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, kami ingin menyampaikan dan mendudukkan makna sebuah hadits, yang barangkali hadits ini oleh kebanyakan orang dianggap bertentangan dengan penjelasan dan nukilan-nukilan yang kami sampaikan di atas.
Hadits tersebut adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/2272) dan lainnya dari Abu Hurairah رضي الله عنه, bahwa Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
"Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir".
Penafsiran yang benar dari hadits ini ada dua, sebagaimana kata Ibnul Qayyim dalam kitab beliau "Badâi'ul fawâid" (3/696):
1.     Orang yang beriman di dunia ini, keimanannya yang kuat menghalangi dia untuk memperturutkan nafsu syahwat yang diharamkan oleh Allah عزّوجلّ, sehingga dengan keadaan ini seolah-olah dia hidup dalam penjara. Atau dengan kata lain: dunia ini adalah tempat orang yang beriman memenjarakan hawa nafsunya dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah عزّوجلّ, berbeda dengan orang kafir yang hidup bebas memperturutkan nafsu syahwatnya. Penafsiran ini juga disebutkan oleh Imam An Nawawi dalam "Syarh shahih Muslim" (18/93).
Penafsiran pertama ini maknanya kurang lebih sama dengan keterangan dan nukilan-nukilan yang kami sampaikan di atas tentang kesusahan dan kepahitan yang dialami oleh seorang hamba pada tahapan awal perjalanannya menuju ridha Allah عزّوجلّ untuk mencapai kesempurnaan dan kemanisan iman. 
2.     Makna: "Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir", adalah jika dibandingkan dengan keadaan/balasan orang yang beriman dan orang kafir di akhirat nanti, karena orang yang beriman itu meskipun hidupnya di dunia paling senang dan bahagia, tetap saja keadaan tersebut seperti penjara jika dibandingkan dengan besarnya balasan kebaikan dan kenikmatan yang Allah عزّوجلّ sediakan baginya di surga di akhirat kelak. Sedangkan orang kafir meskipun hidupnya di dunia paling sengsara dan menderita, tetap saja keadaan tersebut seperti surga jika dibandingkan dengan pedihnya balasan siksaan yang Allah عزّوجلّ akan timpakan kepadanya di neraka nanti. Penafsiran ini juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam tulisan beliau "Qâ'idatun fil mahabbah" (1/175), dan dalam tulisan tersebut beliau juga mejelaskan bahwa makna hadits ini sama sekali tidak bertentangan dengan kebahagian hakiki dan kemanisan iman yang dirasakan oleh orang yang beriman di dunia ini, sebagaimana keterangan dan nukilan-nukilan yang kami sampaikan di atas.
Kedua penafsiran di atas juga disebutkan oleh Al Munawi dalam kitab beliau "Faidhul Qadiir" (3/546), kemudian beliau menyebutkan suatu kisah yang terjadi pada seorang ulama ahli hadits yang sangat terkenal, Al Hafizh Ibnu Hajar Al 'Asqalaani رحمه الله, ketika beliau menjabat sebagai hakim agung di Mesir, suatu ketika Ibnu Hajar melewati sebuah pasar dengan penampilan yang indah dan menunggangi kendaran yang bagus, maka tiba-tiba datang menemui beliau tanpa izin, seorang yahudi penjual minyak panas dalam keadaan pakaiannya kotor berlumuran minyak, dan penampilannya pun sangat buruk. Lalu orang yahudi tersebut langsung memegang tali kekang hewan tunggangan Ibnu Hajr dan berkata: Wahai Syaikhul Islam (gelar untuk Ibnu Hajar)! Kamu menyangka bahwa Nabi kalian (Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم) pernah bersabda: "Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir", maka penjara macam apa yang saat ini kamu rasakan (dengan keadaanmu yang serba cukup seperti ini), dan surga macam apa yang saat ini aku rasakan (dengan keadaanku yang serba memprihatinkan seperti ini)?, Maka Ibnu Hajar menjawab: “Keadaanku ini jika dibandingkan dengan kenikmatan besar yang Allah عزّوجلّ sediakan bagiku di akhirat nanti, maka seakan-akan saat ini aku (hidup) di penjara, dan keadaanmu ini jika dibandingkan dengan azab besar dan pedih yang Allah عزّوجلّ sediakan bagimu di akhirat nanti, maka seakan-akan saat ini kamu (hidup) di surga.” Kemudian (dengan sebab itu) orang yahudi tersebut masuk Islam.
Pembahasan masalah ini adalah pembahasan yang sangat luas, dan jika ada di antara pembaca yang menginginkan pembahasan yang lebih lengkap tentang masalah ini, silahkan merujuk kepada kitab-kitab yang kami jadikan referensi dalam tulisan ini dan kitab-kitab para ulama ahlus sunnah lainnya.

Kami menyadari bahwa mestinya banyak kekurangan dalam tulisan ini karena kurangnya ilmu dan terbatasnya kemampuan kami untuk merangkai kata-kata yang indah dan mudah dipahami pembaca.
Tujuan kami menulis pembahasan ini tidak lain adalah untuk memberikan motivasi dan dorongan kepada kita semua untuk semakin bersemangat dan bersungguh-sungguh menuntut ilmu agama yang bermanfaat  yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم berdasarkan pemahaman para ulama ahlus sunnah, kemudian berusaha untuk mengamalkan ilmu tersebut dengan baik dan benar, karena inilah satu-satunya jalan untuk mencapai dan meraih semua kebaikan dan keutamaan yang Allah عزّوجلّ janjikan bagi hambanya di dunia dan di akhirat, termasuk kebaikan dan keutamaan yang berupa kemanisan dan kelezatan iman.
Ibnul Qayyim berkata: semua sifat (baik) yang dengannya Allah عزّوجلّ memuji hambanya dalam Al-Qur’an adalah buah dan hasil dari ilmu (yang bermanfaat), dan semua sifat (jelek) yang Allah عزّوجلّ cela dalam Al-Qur’an adalah buah dan hasil dari kejahilan .
Dalam sebuah atsar yang shahih dari sahabat Rasulullah صلي الله عليه وسلم yang mulia, 'Ali bin Abi Thalib رحمه الله, ketika beliau menjelaskan keutamaan orang yang berilmu dan fungsi ilmu tersebut dalam membawa mereka meraih kesempurnaan dan kemanisan iman, beliau berkata:"… Ilmu itu membawa mereka (dengan tanpa mereka sadari) untuk merasakan hakikat kesempurnaan dan kemanisan iman, sehingga mereka merasakan ringan dan mudah melaksanakan ibadah dan pendekatan diri kepada Allah عزّوجلّ yang semua ini dirasakan berat oleh orang-orang yang melampaui batas. Bahkan mereka merasa senang dan suka melakukan amalan-amalan shaleh dan ketaatan kepada Allah عزّوجلّ yang semua ini tidak disukai oleh orang-orang yang jahil…".
Terakhir, kami menutup tulisan ini dengan berdo'a dan memohon kepada Allah عزّوجلّ dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan agung, serta sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan sempurna, agar menganugrahkan kepada kita semua taufik dan hidayah-Nya untuk bisa meraih kesempurnaan dan kemanisan iman, dan menjadikan kita semua tetap istiqamah di jalan-Nya yang lurus sampai kita menghadap-Nya nanti, âmîn.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
 
sumber : www.ibnumajjah.wordpress.com
[1] Tulisan ini disalin dari www.serambimadinah.com, yang diasuh para penuntut ilmu di kota Madinah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar