Indahnya
Islam, Manisnya Iman[1]
Ustadz
Abdullah bin Taslim, MA
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على
رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد:
Judul tulisan ini mungkin sudah
terlalu sering kita dengar, tapi kemungkinan besar sedikit sekali di antara
kita (termasuk penulis sendiri) yang benar-benar telah merasakan hakikatnya.
Seandainya kita mau jujur pada diri kita sendiri, sampai saat ini sudah berapa
lama kita menjadi seorang muslim? sudah berapa banyak amal ibadah yang kita
kerjakan? akan tetapi pernahkah kita merasakan kenikmatan dan kemanisan yang
hakiki sewaktu kita melaksanakan ibadah tersebut?
Maka kalau hakikat ini belum kita
rasakan, berarti ada sesuatu yang kurang dalam iman kita, ada sesuatu yang
perlu dikoreksi dalam keislaman kita. Karena manisnya iman dan indahnya Islam
itu bukan sekedar teori belaka, tapi benar-benar merupakan kenyataan hakiki
yang dirasakan oleh orang yang memiliki keimanan dan ketaatan yang kuat kepada Allah
عزّوجلّ, yang wujudnya
berupa kebahagian dan ketenangan hidup di dunia, serta perasaan gembira dan
senang ketika beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah عزّوجلّ.
Dan ini merupakan balasan kebaikan
yang Allah عزّوجلّ segerakan bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman dan taat kepada-Nya di dunia, sebelum nantinya di
akhirat mereka akan mendapatkan balasan yang lebih baik dan sempurna. Hal ini Allah
عزّوجلّ sebutkan dalam
banyak ayat Al-Qur’an, diantaranya:
Ayat pertama:
مَنْ عَمِلَ
صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً
طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan
balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan ” (QS. An
Nahl:97).
Ayat
kedua:
وَالَّذِينَ
هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ،
الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
"Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah
mereka dianiaya, pasti Kami akan berikan kepada mereka (balasan) kebaikan di
dunia. Dan
sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.
(yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Rabb saja mereka
bertawakkal" (QS. An Nahl:41-42).
Ayat ketiga:
وَأَنِ
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً
إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ
"Dan hendaklah kamu meminta
ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang
demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia)
sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap
orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)"
(QS. Huud:3).
Ayat keempat:
قُلْ يَا عِبَادِ
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ
الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ
أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
"Katakanlah:"Hai
hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Rabbmu".Orang-orang yang
berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan.Dan bumi Allah itu adalah
luas.Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahala
bagi mereka dengan tanpa batas (di akhirat)" (QS. Az Zumar:10).
Dalam mengomentari keempat ayat di atas, Imam
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah –semoga Allah merahmatinya– berkata: "Dalam
keempat ayat ini Allah عزّوجلّ menyebutkan
bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan
dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di
akhirat .”
Kemudian kalau kita mengamati dengan seksama
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah صلي الله عليه وسلم yang mensifati dan menggambarkan ajaran agama islam ini, kita
akan dapati bukti yang menunjukkan bahwa agama islam ini Allah عزّوجلّ turunkan kepada manusia sebagai sumber kebahagian hidup yang
hakiki dan ketenangan lahir dan batin bagi orang-orang yang memahami dan
mengamalkannya dengan baik dan benar.
Di
antara ayat-ayat
Al-Qur’an tersebut adalah firman Allah عزّوجلّ:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
"Dan Kami turunkan kepadamu
kitab ini (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta
rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri" (QS. An
Nahl:89).
Juga firman Allah
عزّوجلّ:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ
لِلْمُؤْمِنِينَ
"Wahai manusia, sesungguhnya
telah datang kepadamu (dalam Al-Qur’an) pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh
bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman" (QS. Yunus:57).
Dalam ayat lain Allah عزّوجلّ menegaskan bahwa Dia عزّوجلّ tidaklah menjadikan agama islam ini sebagai beban yang
memberatkan dan menyulitkan manusia, Allah عزّوجلّ berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا
يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
"Allah menghendaki kemudahan
bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu" (Al Baqarah:185).
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ
عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
"Allah tidak menghendaki untuk
menjadikan kesempitan bagi kamu" (Al Maaidah:6).
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ
مِنْ حَرَجٍ
"Dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan bagi kamu dalam agama ini suatu kesempitan" (Al Hajj:78).
Dan
masih banyak ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat-ayat di atas.
Demikian pula kita dapati hadits-hadits
Rasulullah صلي الله عليه وسلم mensifati
agama islam ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas.
Misalanya, dalam beberapa hadits yang shahih Rasulullah صلي الله عليه وسلم mensifati iman yang sempurna sebagai sesuatu yang manis dan
lezat, sebagaimana yang beliau صلي الله عليه وسلم sabdakan dalam hadits shahih riwayat Imam Al Bukhari (1/14) dan
Imam Muslim (1/66):
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بـِهِنَّ
حَلَاوَةَ الْإِيـمَانِ.....
"Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya, maka
dia akan merasakan manisnya iman…"
Juga
dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim (1/62), beliau صلي الله عليه وسلم bersabda:
ذَاقَ طَعْمَ الْإِيـمَانِ
مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِـمُحَمَّدٍ رَسُولًا
"Akan merasakan kelezatan iman, orang yang ridha Allah
عزّوجلّ sebagai
Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta Muhammad صلي الله عليه وسلم sebagai rasulnya".
Berkata Imam An Nawawi –semoga Allah
عزّوجلّ merahmatinya–
ketika menjelaskan hadits di atas: "Orang yang tidak menghendaki selain
(ridha) Allah عزّوجلّ, tidak
menempuh selain jalan agama islam & tidak melakukan ibadah kecuali dengan
apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh Rasulullah صلي الله عليه وسلم), maka tidak diragukan lagi bahwa yang memiliki sifat ini niscaya
kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya, sehingga ia bisa merasakan
kemanisan dan kelezatan iman tersebut" .
Sebagaimana kemanisan dan kelezatan
iman ini dirasakan langsung oleh Rasulullah صلي الله عليه وسلم, sehingga beliau صلي الله عليه وسلم menggambarkan ibadah shalat sebagai sumber kesejukan dan
kesenangan hati, dalam sabda beliau صلي الله عليه وسلم:
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
"Dan Allah menjadikan qurratul 'ain bagiku
pada (waktu aku melaksanakan) shalat" (HR. Ahmad 3/128, An Nasa-i 7/61 dll
dari Anas bin Malik رضي الله عنه, dan
dishahihkan oleh syaikh Al Albani dalam "Shahihul jaami'" 1/544).
Makna qurratul 'ain adalah
sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan hati. Dalam hadits lain yang diriwayatkan
oleh Abu Daud (2/715) dan Ahmad (5/364) dan dishahihkan oleh syaikh Al Albani, Rasulullah
صلي الله عليه وسلم bersabda
kepada Bilal رضي الله عنه:
"Wahai Bilal, senangkanlah (hati) kami dengan
(melaksanakan) shalat".
Demikian pula para shahabat ? dan
para ulama ahlus sunnah yang mengikuti petunjuk mereka juga merasakan kemanisan
iman ini dalam diri mereka, sebagaimana yang Allah عزّوجلّ gambarkan dalam Al-Qur’an tentang kesempurnaan iman para
shahabat رضي الله عنهم dalam
firman-Nya:
وَلَكِنَّ اللَّهَ
حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ
الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
"Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para
sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta
menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka
itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus" (QS. Al Hujuraat:7).
Dan dalam hadits shahih riwayat Al
Bukhari (1/7) tentang kisah dialog antara Abu Sufyan رضي الله عنه dan raja Romawi Hiraql, di antara pertanyaan yang diajukan oleh
Hiraql kepada Abu Sufyan: Apakah ada diantara pengikut (sahabat) Nabi itu (Nabi
Muhammad صلي الله عليه وسلم) yang meninggalkan agamanya karena dia membenci agama tersebut
setelah dia memeluknya? Maka Abu Sufyan menjawab: Tidak ada. Kemudian Hiraql
berkata: Memang demikian (keadaan) iman ketika kemanisan iman itu telah masuk
dan menyatu dalam hati manusia.
Kemudian atsar dari para ulama ahlus
sunnah yang menunjukkan hal ini banyak sekali, di antaranya sebuah atsar yang
sering dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah عزّوجلّ merahmatinya – dalam beberapa kitab beliau, seperti "Miftahu
daaris sa'aadah", "Al Waabilush shoyyib" dan "Ad
Daa-u wad dawaa'", yaitu ucapan salah seorang ulama: "Seandainya
para raja dan pangeran mengetahui (kenikmatan hidup) yang kami rasakan (karena
memahami dan mengamalkan agama Allah عزّوجلّ, niscaya mereka akan berusaha merebut kenikmatan tersebut dari
kami dengan pedang-pedang mereka".
Juga ucapan yang masyhur dari
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah عزّوجلّ merahmatinya – yang dinukil oleh murid beliau Ibnul Qayyim
dalam kitabnya "Al Waabilush shoyyib" (1/69), Ibnu Taimiyyah
berkata: "Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang
belum masuk ke dalam surga di dunia ini, maka dia tidak akan masuk ke dalam
surga di akhirat nanti". Makna "surga di dunia" ini adalah
kecintaan (yang utuh) dan ma'rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allah عزّوجلّ, (dengan memahami nama-nama dan sifat-sifatNya dengan baik dan
benar) serta selalu berzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang
dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan
(mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah
diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan Allah عزّوجلّ satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan
kehendak seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya,
yang sekaligus merupakan qurratul 'ain (penyejuk dan penyenang hati)
bagi orang-orang yang mencintai dan mengenal Allah عزّوجلّ .
Bahkan dalam kitab "Al
Waabilush shoyyib" ini, Ibnul Qayyim رحمه الله menyebutkan
kisah nyata gambaran kenikmatan hidup yang dialami guru beliau, Syaikhul islam
Ibnu Taimiyyah – ولا أزكي على الله
أحدا –, yang
kenikmatan ini justru semakin nampak pada diri beliau sewaktu beliau sedang
mengalami siksaan yang berat dan celaan dari musuh-musuh beliau, karena
membela dan mendakwahkan aqidah ahlus
sunnah wal jama'ah. Ibnul Qayyim berkata: "Dan Allah عزّوجلّ yang maha mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun
yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau (Ibnu Taimiyyah), padahal kondisi
kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi,
bahkan sangat memprihatinkan, ditambah lagi dengan siksaan dan penderitaan yang beliau alami di
jalan Allah عزّوجلّ berupa
(siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau). Tapi
bersamaan dengan itu semua, aku mendapati beliau adalah termasuk orang yang
paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling
tenang jiwanya, terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan
hidup (yang beliau rasakan). Bahkan kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika
ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami
prasangka-prasangka buruk, atau ketika merasakan kesempitan hidup, kami segara
mendatangi beliau untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang beliau dan
mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang
kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang"
.
Setelah kita merenungkan dan
menghayati dalil-dalil dari Al Qur'an, As Sunnah dan keterangan dari para ulama
di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup yang
hakiki hanyalah dirasakan oleh orang yang mengisi hidupnya dengan keimanan dan
ketaatan kepada Allah عزّوجلّ. Sebagaimana
sebaliknya, orang yang berpaling dari keimanan dan ketaatan kepada Allah عزّوجلّ, maka dia pasti akan merasakan kesengsaraan dan kesempitan
hidup di dunia, sebelum nantinya di akhirat dia mendapatkan azab yang sangat
pedih. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ
عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَعْمَى
"Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku,
maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sengsara (di dunia), dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta" (QS. Thaaha:124).
Dan dengan ini juga kita mengetahui
salahnya penilaian kebanyakan orang jahil, bahwa orang yang beriman dan
bertakwa itu akan sengsara dan menderita hidupnya di dunia, karena mereka
menyangka bahwa kebahagiaan itu diukur dengan banyaknya harta dan kemewahan
dunia yang dimiliki seseorang. Penilaian semacam ini tidak lebih dari penilaian
orang-orang yang dicela oleh Allah عزّوجلّ dalam firman-Nya:
يَعْلَمُونَ
ظَاهِراً مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
"Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari
kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai"
(QS. Ar Ruum:7).
Adapun ujian dan cobaan yang mesti
dialami oleh orang yang beriman dan bertakwa di dunia ini dalam mempertahankan
keimanan mereka, seperti yang disebutkan dalam banyak hadits-hadits yang
shahih, diantaranya sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم: "Orang yang paling banyak mendapatkan ujian ataupun
cobaan (di jalan Allah عزّوجلّ adalah para Nabi
kemudian orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan),
kemudian orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan).
(Setiap) orang akan diuji sesuai dengan (kuat/lemahnya) agama (iman)nya, kalau
agamanya kuat maka ujiannya pun akan (makin) besar, kalau agamanya lemah maka
dia akan diuji sesuai dengan (kelemahan) agamanya. Dan ujian itu akan
terus-menerus ditimpakan kepada seorang hamba, hingga (akhirnya) hamba tersebut
berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya dosa (sedikitpun)" (HR.
Ahmad 6/369, Ad Daarimi 2/412, Ibnu Hibban 7/160, Al Hakim 1/99 dll,
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam "Shahiihul jaami' "
1/100).
Apa yang disebutkan dalam
hadits-hadits tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan keterangan yang
kami sampaikan di atas, karena kalau kita renungkan hikmah-hikmah yang agung
dari ujian dan cobaan tersebut, kita dapati bahwa semua itu justru memberikan
kebaikan dan manfaat yang besar bagi orang-orang yang beriman dalam menambah
keimanan dan semakin mendekatkan diri mereka kepada Allah عزّوجلّ, karena di antara hikmah-hikmah tersebut adalah: Allah عزّوجلّ menjadikan cobaan tersebut untuk membersihkan dan menghapuskan
dosa-dosa hamba-Nya yang beriman (seperti yang diisyaratkan dalam hadits di
atas), juga untuk semakin menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan mereka
kepada Allah عزّوجلّ. (dan masih
banyak hikmah-hikmah yang lain, untuk lebih lengkapnya silahkan baca
hikmah-hikmah ujian yang diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim رحمه الله dalam kitab
beliau "Igatsatul lahfaan min mashôyidisy syaithôn"
(2/187-195).
Kemudian, dari penjelasan di atas timbul satu pertanyaan, yang
kemungkinan juga ada di benak kita: kalau memang iman itu hakikatnya manis dan
islam itu hakikatnya indah, mengapa kebanyakan dari kita belum merasakan hal
itu ketika melakukan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah عزّوجلّ, terlebih lagi ibadah-ibadah yang dianggap berat oleh
kebanyakan orang, seperti shalat malam, puasa sunnah, bersedekah dan lainnya?
Mengapa kebanyakan dari kita masih merasakan berat dan susah ketika
melaksanakan ibadah-ibadah tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan di atas,
kami akan mengemukakan satu contoh agar kita mudah memahami masalah ini. Kalau
misalnya kita membayangkan suatu makanan yang kita anggap paling enak dan
lezat, yang rasa enak dan lezatnya makanan ini disepakati oleh semua orang yang
sehat dan berakal, misalanya saja: sate atau gulai kambing muda (atau makanan
apa saja yang dianggap paling enak dan lezat), seandainya makanan ini kita
hidangkan dihadapan seorang yang sedang sakit demam atau sariawan, atau minimal
kurang enak badan, kira-kira apa yang akan dilakukannya terhadap makanan
tersebut? Apakah dia akan menyantapnya sampai habis seperti kalau makanan
tersebut kita hidangkan di hadapan orang yang sehat?
Jawabnya tentu saja tidak, karena
sebagian dari organ tubuhnya kurang sehat dan tidak berfungsi sebagaimana
mestinya, maka dia tidak bisa merasakan enak dan lezatnya makanan tersebut.
Dalam hal ini tentu saja yang kita permasalahkan dan perlu diperbaiki adalah
kondisi orangnya dan bukan makanan tersebut. Demikian pula hal ini berlaku pada
ibadah-ibadah yang Allah عزّوجلّ syariatkan kepada kaum muslimin, kenikmatan dan kelezatan
ibadah-ibadah tersebut hanya akan dirasakan oleh orang yang benar-benar sehat
dan sempurna keimanannya. Adapun orang yang kurang sehat imannya karena masih
ada penyakit dalam hatinya, maka diapun belum bisa merasakan kenikmatan dan
kemanisan tersebut, dan dalam hal ini berarti yang kurang dan perlu diperbaiki
adalah hati dan keimanan orang tersebut bukan ibadah-ibadah itu sendiri.
Oleh karena itu yang harus dilakukannya
adalah berusaha keras dan berjuang untuk menyembuhkan dan menghilangkan
penyakit tersebut, dengan cara memaksa diri untuk melakukan terapi untuk
mengobati penyakit hati/iman tersebut.
Terapi ini telah dijelaskan oleh para ulama berdasarkan dalil-dalil dari
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم, dan insya
Allah عزّوجلّ akan kami sebutkan ringkasannya –, agar nantinya setelah
penyakit hati tersebut sembuh dan imannya telah sehat, barulah dia akan
merasakan kenikmatan dan kemanisan ketika beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah عزّوجلّ.
Adapun terapi untuk mengobati penyakit hati/iman
tersebut, maka ini telah dijelaskan secara lengkap dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
صلي الله عليه وسلم, karena itulah
Allah عزّوجلّ mensifati kitab-Nya
Al-Qur’an sebagai syifa (obat/penyembuh) dalam firman-Nya:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ
شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَاراً
"Dan Kami turunkan dari
Al-Qur'an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman
dan al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain
kerugian" (QS. Al Israa':82).
Juga dalam
ayat lain Allah عزّوجلّ berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ
لِلْمُؤْمِنِينَ
"Hai manusia, sesungguhnya
telah datang kepadamu (dalam Al-Qur’an) pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh
bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada (hati) serta petunjuk dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman" (QS. Yuunus:57).
Kemudian dalam sebuah hadits yang
shahih Rasulullah صلي الله عليه وسلم menggambarkan
bahwa petunjuk yang beliau bawa dari Allah عزّوجلّ berfungsi untuk menghidupkan dan menyembuhkan penyakit hati
manusia, sebagaimana hujan yang Allah عزّوجلّ turunkan ke bumi untuk menghidupkan dan menumbuhkan tanah yang
gersang dan tandus. Dari Abu Musa Al Asy'ari رضي الله عنه, bahwa Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda: "Sesungguhnya perumpamaan dari petunjuk dan ilmu
yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan (yang baik) yang (Allah عزّوجلّ turunkan ke bumi…" (HSR Al Bukhari 1/42 dan Muslim
4/1787).
Maka untuk membersihkan dan
mensucikan jiwa serta mengobati penyakit hati, caranya tidak lain adalah dengan
mengamalkan petunjuk dan syariat Allah عزّوجلّ dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم lahir dan batin, bukan dengan cara-cara bid'ah (yang
diada-adakan) dan ditetapkan oleh orang/kelompok tertentu yang hanya
berdasarkan mimpi, khayalan, bisikan jiwa, akal atau perasaan dan sama sekali
tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم. Sebagaimana cara-cara dan wirid-wirid bid'ah yang dibuat-buat
oleh kelompok-kelompok tarekat sufiyah dan lainnya, karena syariat Islam ini adalah syariat yang
lengkap dan sempurna, yang menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum
muslimin dalam urusan agama mereka, terlebih lagi masalah yang penting seperti
masalah pensucian jiwa dan pengobatan penyakit hati ini.
Untuk lebih jelasnya pembahasan
masalah ini, silahkan merujuk keterangan para ulama ahlus sunnah dalam masalah
ini, seperti Ibnul Qayyim dalam beberapa kitab beliau, misalnya kitab "Ighôtsatul
lahfân", "Ad Da-u wad dawâ' ", "Miftâhu dâris
sa'âdah", "Al wâbilush shoyyib" dll. Begitu juga
Syaikh Salîm Al Hilâli telah menulis kitab khusus untuk menjelaskan masalah
penting ini dengan judul "Manhâjul anbiyâ' fî tazkiyatin nufûs".
Kemudian secara ringkas, berdasarkan
pengamatan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah صلي الله عليه وسلم, Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa terapi untuk menyembuhkan
penyakit hati tersimpul dalam tiga macam cara penyembuhan, yang beliu
istilahkan dengan "madârush shihhah" (ruang lingkup
penyembuhan), dan ketiga macam cara inilah yang
diterapkan oleh para dokter dalam mengobati pasien mereka. Tiga macam
cara penyembuhan tersebut adalah:
1. Hifzhul Quwwah (memelihara kekuatan
dan kondisi hati), yaitu dengan memperbanyak melakukan ibadah dan amal shaleh
untuk meningkatkan keimanan, seperti mambaca Al-Qur’an dengan menghayati
kandungan maknanya, berdzikir, mempelajari ilmu agama yang bermanfaat, utamanya
ilmu tauhid, dan lain-lain.
2. Al Himyatu 'Anil Mu'dzi (menjaga
hati dari penyakit-penyakit lain), yaitu dengan cara menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan dosa, maksiat dan penyimpangan-penyimpangan syariat
lainnya, karena perbuatan-perbuatan tersebut akan semakin memperparah dan
menambah penyakit hati.
3. Istifragul Mawaaddil Faasidah
(menghilangkan/membersihkan bekas-bekas jelek/noda-noda hitam dalam hati yang
merusak, sebagai akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan),
yaitu dengan cara beristigfar (meminta ampunan) dan bertaubat dengan taubat
yang nashuh (ikhlas dan bersungguh-sungguh) kepada Allah عزّوجلّ .
Dan tentu saja selama proses
penyembuhan penyakit hati ini, seorang muslim membutuhkan kesungguhan dan usaha
keras untuk menundukkan dan memaksa hawa nafsunya agar bisa melaksanakan
cara-cara penyambuhan di atas, artinya sebelum dia mencapai kesempurnaan iman,
yang dengan itu dia akan merasakan kemanisan dan kelezatan iman, di awal
perjalanan menempuh jalan Allah عزّوجلّ ini, dia mesti merasakan kepahitan dan kesusahan terlebih
dahulu dalam proses penyembuhan penyakit hati/imannya, dan dia harus berusaha
keras dan berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mengamalkan cara-cara
penyembuhan tersebut agar proses penyembuhan penyakit hati tersebut berlangsung
dengan baik dan sempurna. Sebagaimana orang sakit yang tidak bisa merasakan
nikmatnya makanan lezat, kalau dia benar-benar ingin sembuh, maka dia harus
berusaha dan memaksa dirinya untuk meminum obat yang rasanya pahit dan getir
secara teratur, dan mengkonsumsi makanan yang bergizi untuk menjaga kondisinya,
meskipun makanan tersebut terasa pahit di lidahnya dan susah ditelan misalnya.
Proses inilah yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم:
حُجِبَتْ وَحُجِبَتْ
الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُجِبَتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
"Jannah (surga) itu dikelilingi (ditutupi) dengan
perkara-perkara yang susah dan tidak disenangi oleh nafsu manusia, sedangkan
neraka itu dikelilingi dengan perkara-perkara yang disenangi oleh nafsu syahwat
manusia" (HR. Al Bukhari 5/2379 dan Muslim 4/2174 dari Abu Hurairah رضي الله عنه).
Yang perlu diingat dan dicamkan di
sini, bahwa rasa berat dan kesusahan ini hanyalah dirasakan diawal/permulaan
menempuh jalan mencapai ridha Allah عزّوجلّ, yaitu selama proses penyembuhan dan pengobatan penyakit hati
berlangsung, karena hal ini memang Allah عزّوجلّ jadikan untuk menguji kesungguhan dan kesabaran seorang hamba
dalam berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan-Nya, yang kemudian setelah Allah
عزّوجلّ mengetahui
kesungguhan dan kesabaran hamba tersebut, barulah setelah itu Allah عزّوجلّ memberikan taufik dan hidayahnya kepada hamba tersebut, dengan
menghilangkan penyakit hatinya dan menganugrahkan kesempurnaan dan kemanisan
iman kepadanya.
Dan hidayah yang Allah عزّوجلّ berikan tersebut tergantung dari besar/kecilnya kesabaran dan
kesungguhan seorang hamba dalam menempuh jalan Allah عزّوجلّ ini. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا
لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
"Dan orang-orang yang berjuang dengan
sungguh-sungguh (dalam menundukkan hawa nafsu) untuk (mencari keridhaan) Kami,
maka benar-benar akan Kami berikan hidayah kepada mereka (dalam menempuh)
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik" (QS. Al 'Ankabuut:69).
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah ketika
mengomentari ayat di atas berkata: "(Dalam ayat ini) Allah عزّوجلّ menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan
kesungguhan (manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah dari Allah عزّوجلّ adalah orang yang paling besar perjuangan dan
kesungguhannya" .
Rasulullah صلي الله عليه وسلم juga mengisyaratkan makna ayat di atas dalam sabda beliau صلي الله عليه وسلم: "orang
yang berjihad (berjuang) dengan sebenarnya adalah orang yang berjuang dengan
sungguh-sungguh untuk menundukkan hawa nafsunya di jalan Allah عزّوجلّ " (HR. Ahmad 6/21,22, Ibnu Hibban 11/203 dll, dishahihkn
oleh syaikh Al Albani dalam "Shahihul jaami' " 1/201 dan
1/1163).
Imam Ibnul Qayyim ketika menjelaskan
proses pencapaian kebahagian yang hakiki dan kemanisan iman yang diawali dengan
kesusahan dan kepahitan, berkata: "…Kebahagian (dan kemanisan iman) ini,
meskipun pada mulanya tidak lepas dari berbagai macam kesusahan, penderitaan
dan perkara-perkara yang tidak disenangi, (tapi pada akhirnya nanti) akan
membawanya kepada taman-taman yang indah, tempat yang penuh kebahagiaan dan
kedudukan yang mulia…" .
Beliau juga berkata: "Kalaulah
bukan karena kejahilan (ketidaktahuan) mayoritas manusia akan kemanisan dan
kelezatan iman, serta agungnya kedudukan ini, maka pasti mereka akan saling
perang memperebutkan hal tersebut dengan pedang-pedang mereka, akan tetapi
memang Allah عزّوجلّ menghijabi
(menutupi) kemanisan iman tersebut dengan perkara-perkara yang tidak disukai
oleh nafsu manusia, sebagaimana mayoritas manusia juga dihalangi untuk
merasakan kemanisan iman tersebut dengan hijab kejahilan, dengan tujuan agar Allah
عزّوجلّ memilih dan
mengkhususkan siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya untuk
mencapai kedudukan ini dan merasakan kemanisan iman, dan Allah عزّوجلّ maha memiliki karunia yang agung" .
Sebelum kami mengakhiri tulisan ini,
kami ingin menyampaikan dan mendudukkan makna sebuah hadits, yang barangkali
hadits ini oleh kebanyakan orang dianggap bertentangan dengan penjelasan dan
nukilan-nukilan yang kami sampaikan di atas.
Hadits tersebut adalah hadits shahih
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/2272) dan lainnya dari Abu Hurairah رضي الله عنه, bahwa Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
"Dunia ini adalah penjara
(bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir".
Penafsiran yang benar dari hadits
ini ada dua, sebagaimana kata Ibnul Qayyim dalam kitab beliau "Badâi'ul
fawâid" (3/696):
1. Orang yang beriman di dunia ini,
keimanannya yang kuat menghalangi dia untuk memperturutkan nafsu syahwat yang
diharamkan oleh Allah عزّوجلّ, sehingga
dengan keadaan ini seolah-olah dia hidup dalam penjara. Atau dengan kata lain:
dunia ini adalah tempat orang yang beriman memenjarakan hawa nafsunya dari
perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah عزّوجلّ, berbeda dengan orang kafir yang hidup bebas memperturutkan
nafsu syahwatnya. Penafsiran ini juga disebutkan oleh Imam An Nawawi dalam
"Syarh shahih Muslim" (18/93).
Penafsiran pertama ini maknanya
kurang lebih sama dengan keterangan dan nukilan-nukilan yang kami sampaikan di
atas tentang kesusahan dan kepahitan yang dialami oleh seorang hamba pada
tahapan awal perjalanannya menuju ridha Allah عزّوجلّ untuk mencapai kesempurnaan dan kemanisan iman.
2. Makna: "Dunia ini adalah
penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir", adalah
jika dibandingkan dengan keadaan/balasan orang yang beriman dan orang kafir di
akhirat nanti, karena orang yang beriman itu meskipun hidupnya di dunia paling
senang dan bahagia, tetap saja keadaan tersebut seperti penjara jika
dibandingkan dengan besarnya balasan kebaikan dan kenikmatan yang Allah عزّوجلّ sediakan baginya di surga di akhirat kelak. Sedangkan orang
kafir meskipun hidupnya di dunia paling sengsara dan menderita, tetap saja
keadaan tersebut seperti surga jika dibandingkan dengan pedihnya balasan
siksaan yang Allah عزّوجلّ akan timpakan
kepadanya di neraka nanti. Penafsiran ini juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah
dalam tulisan beliau "Qâ'idatun fil mahabbah" (1/175), dan
dalam tulisan tersebut beliau juga mejelaskan bahwa makna hadits ini sama sekali
tidak bertentangan dengan kebahagian hakiki dan kemanisan iman yang dirasakan
oleh orang yang beriman di dunia ini, sebagaimana keterangan dan
nukilan-nukilan yang kami sampaikan di atas.
Kedua penafsiran di atas juga
disebutkan oleh Al Munawi dalam kitab beliau "Faidhul Qadiir"
(3/546), kemudian beliau menyebutkan suatu kisah yang terjadi pada seorang
ulama ahli hadits yang sangat terkenal, Al Hafizh Ibnu Hajar Al 'Asqalaani رحمه الله, ketika beliau
menjabat sebagai hakim agung di Mesir, suatu ketika Ibnu Hajar melewati sebuah
pasar dengan penampilan yang indah dan menunggangi kendaran yang bagus, maka
tiba-tiba datang menemui beliau tanpa izin, seorang yahudi penjual minyak panas
dalam keadaan pakaiannya kotor berlumuran minyak, dan penampilannya pun sangat
buruk. Lalu orang yahudi tersebut langsung memegang tali kekang hewan
tunggangan Ibnu Hajr dan berkata: Wahai Syaikhul Islam (gelar untuk Ibnu
Hajar)! Kamu menyangka bahwa Nabi kalian (Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم) pernah
bersabda: "Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga
(bagi) orang kafir", maka penjara macam apa yang saat ini kamu rasakan
(dengan keadaanmu yang serba cukup seperti ini), dan surga macam apa yang saat
ini aku rasakan (dengan keadaanku yang serba memprihatinkan seperti ini)?, Maka
Ibnu Hajar menjawab: “Keadaanku ini jika dibandingkan dengan kenikmatan besar
yang Allah عزّوجلّ sediakan
bagiku di akhirat nanti, maka seakan-akan saat ini aku (hidup) di penjara, dan
keadaanmu ini jika dibandingkan dengan azab besar dan pedih yang Allah عزّوجلّ sediakan bagimu di akhirat nanti, maka seakan-akan saat ini
kamu (hidup) di surga.” Kemudian (dengan sebab itu) orang yahudi tersebut masuk
Islam.
Pembahasan masalah ini adalah
pembahasan yang sangat luas, dan jika ada di antara pembaca yang menginginkan
pembahasan yang lebih lengkap tentang masalah ini, silahkan merujuk kepada
kitab-kitab yang kami jadikan referensi dalam tulisan ini dan kitab-kitab para
ulama ahlus sunnah lainnya.
Kami menyadari bahwa mestinya banyak
kekurangan dalam tulisan ini karena kurangnya ilmu dan terbatasnya kemampuan
kami untuk merangkai kata-kata yang indah dan mudah dipahami pembaca.
Tujuan kami menulis pembahasan ini
tidak lain adalah untuk memberikan motivasi dan dorongan kepada kita semua untuk
semakin bersemangat dan bersungguh-sungguh menuntut ilmu agama yang
bermanfaat yang bersumber dari Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم berdasarkan
pemahaman para ulama ahlus sunnah, kemudian berusaha untuk mengamalkan ilmu
tersebut dengan baik dan benar, karena inilah satu-satunya jalan untuk mencapai
dan meraih semua kebaikan dan keutamaan yang Allah عزّوجلّ janjikan bagi hambanya di dunia dan di akhirat, termasuk
kebaikan dan keutamaan yang berupa kemanisan dan kelezatan iman.
Ibnul Qayyim berkata: semua sifat
(baik) yang dengannya Allah عزّوجلّ memuji hambanya dalam Al-Qur’an adalah buah dan hasil dari ilmu
(yang bermanfaat), dan semua sifat (jelek) yang Allah عزّوجلّ cela dalam Al-Qur’an adalah buah dan hasil dari kejahilan .
Dalam sebuah atsar yang shahih dari
sahabat Rasulullah صلي الله عليه وسلم yang mulia,
'Ali bin Abi Thalib رحمه الله, ketika beliau menjelaskan keutamaan orang yang berilmu dan
fungsi ilmu tersebut dalam membawa mereka meraih kesempurnaan dan kemanisan
iman, beliau berkata:"… Ilmu itu membawa mereka (dengan tanpa mereka sadari)
untuk merasakan hakikat kesempurnaan dan kemanisan iman, sehingga mereka
merasakan ringan dan mudah melaksanakan ibadah dan pendekatan diri kepada Allah
عزّوجلّ yang semua ini
dirasakan berat oleh orang-orang yang melampaui batas. Bahkan mereka merasa
senang dan suka melakukan amalan-amalan shaleh dan ketaatan kepada Allah عزّوجلّ yang semua ini tidak disukai oleh orang-orang yang
jahil…".
Terakhir, kami menutup tulisan ini
dengan berdo'a dan memohon kepada Allah عزّوجلّ dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan agung, serta
sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan sempurna, agar menganugrahkan kepada kita
semua taufik dan hidayah-Nya untuk bisa meraih kesempurnaan dan kemanisan iman,
dan menjadikan kita semua tetap istiqamah di jalan-Nya yang lurus sampai kita
menghadap-Nya nanti, âmîn.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله
وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
sumber : www.ibnumajjah.wordpress.com
[1]
Tulisan ini disalin dari www.serambimadinah.com, yang diasuh
para penuntut ilmu di kota Madinah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar